Adakalanya mentari begitu lelah dan tak mampu lagi untuk menahan gelap yang dengan perlahan mulai menyelimuti angkasa, menyisakan sebuah senja temaram yang kental dengan nuansa romantis di antara pergantian waktu. Ingin rasanya waktu berhenti ketika warna jingga mulai memenuhi angkasa di senja yang temaram ini, yang mengingatkanku akan kisah romansa yang tidak ingin aku lupakan.
Sesayup sampai ku dengar angin
berbisik melalui gemerisik dedaunan yang membisikkan simfoni yang begitu
ganjil, simfoni yang sangat indah sekaligus dipenuhi dengan kesedihan. Membuatku
tenggelam dalam mimpi-mimpi manis yang selama ini kugantungkan dibatas angan. Haruskah
aku tetap memegang mimpi-mimpi itu ataukah kulepas saja biar angin yang membawanya
terbang jauh melintasi kelamnya dunia khayal.
Di Senja yang temaram ini aku
duduk termenung mengharu biru sambil memandang langit kemerahan, haruskah aku
tetap duduk di tempat ini selamanya hingga akhirnya gelap menenggelamkanku
dalam kehampaan, atau haruskah aku bangkit dan segera melanjutkan perjalanan walau
akhirnya aku harus tertatih dalam gelap sambil berharap fajar baru segera
datang.
Kadang aku berpikir kenapa aku
bisa menjadi sebodoh ini, terlarut dalam keindahan yang mencabik-cabik hati,
tergopoh-gopoh mengejar pelangi, merindukan untuk memeluk gunung dan berjalan
di hamparan mawar yang berduri. Padahal entah berapa banyak gajah dipelupuk mata
yang terlewatkan hanya sekedar untuk melihat semut di seberang lautan. Mungkin
ini adalah jawaban dari doa yang sudah sangat lama sekali aku panjatkan lewat
mulut comel yang iseng berucap, “Ya Tuhan, jadikanlah aku perajut kata yang
mampu menyusun kata-kata sederhana menjadi kidung yang menerangi malam tanpa
purnama. Biarkan aku tenggelam dalam lautan kata-kata yang sekelam lautan
dalam, dan biarkan aku menghilang dalam ketiadaan dimana kata kehilangan rupa,
kehilangan ucap, kehilangan makna dan akhirnya terlupakan.” Atau mungkin semua
yang aku alami sekarang adalah sugesti dari kata-kata yang pernah terucap, “Biarkan
biru menjadikanku abu dan merah menjadikanku dewa.”
Semakin aku terlarut dalam semua
romansa yang sudah dan hampir terlewati, mentari pun semakin kehilangan
tempatnya di sudut cakrawala sedang temaram mulai berganti gelap, dan ketika
temaram tak mampu lagi mempertahankan eksistensinya aku harus segera bangkit
meninggalkan senja yang indah ini sambil mempersiapkan diri untuk bergelut
dipekatnya malam. Berat memang, tapi mau bagaimana lagi biarkanlah biru tetap
sebiru lautan dan merah tetap semerah darah, karena seberapa kuat keinginanku untuk
merubah biru menjadi merah, tetap saja biru bukanlah merah dan merah pun tak
akan pernah menjadi biru.
***
Entah kenapa keinginan untuk
melanjutkan menulis novel Biru-Merah yang sudah lama tertunda kembali muncul,
bahkan kali ini keinginan itu begitu kuat dan menggebu-gebu. Berawal dari
tulisan “Ketika Diam Tak Lagi Emas” lalu berlanjut ke “Senja Temaram” mulai memunculkan
inspirasi untuk membuat sekuel keempat dari novel “Biru-Merah”. Pada dasarnya
sekuel empat ini belum akan menjadi akhir dari novel yang akan kubuat, karena
aku masih harus mengarungi lautan biru yang luas. Semoga aku dapat segera
menyelesaikan novel ini yang hanya akan berakhir ketika aku dapat menemukan
arti dari merahnya merah.
Sign up here with your email
2 komentar
Write komentarbiru - merah? itu chelsea vs arsenal maksudnya atau seragamnya barca? hahaha
Replyhahaha tepat sekali...
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon