SENJA TEMARAM

www.sant45.tk


Adakalanya mentari begitu lelah dan tak mampu lagi untuk menahan gelap yang dengan perlahan mulai menyelimuti angkasa, menyisakan sebuah senja temaram yang kental dengan nuansa romantis di antara pergantian waktu. Ingin rasanya waktu berhenti ketika warna jingga mulai memenuhi angkasa di senja yang temaram ini, yang mengingatkanku akan kisah romansa yang tidak ingin aku lupakan.

Sesayup sampai ku dengar angin berbisik melalui gemerisik dedaunan yang membisikkan simfoni yang begitu ganjil, simfoni yang sangat indah sekaligus dipenuhi dengan kesedihan. Membuatku tenggelam dalam mimpi-mimpi manis yang selama ini kugantungkan dibatas angan. Haruskah aku tetap memegang mimpi-mimpi itu ataukah kulepas saja biar angin yang membawanya terbang jauh melintasi kelamnya dunia khayal.

Di Senja yang temaram ini aku duduk termenung mengharu biru sambil memandang langit kemerahan, haruskah aku tetap duduk di tempat ini selamanya hingga akhirnya gelap menenggelamkanku dalam kehampaan, atau haruskah aku bangkit dan segera melanjutkan perjalanan walau akhirnya aku harus tertatih dalam gelap sambil berharap fajar baru segera datang.

Kadang aku berpikir kenapa aku bisa menjadi sebodoh ini, terlarut dalam keindahan yang mencabik-cabik hati, tergopoh-gopoh mengejar pelangi, merindukan untuk memeluk gunung dan berjalan di hamparan mawar yang berduri. Padahal entah berapa banyak gajah dipelupuk mata yang terlewatkan hanya sekedar untuk melihat semut di seberang lautan. Mungkin ini adalah jawaban dari doa yang sudah sangat lama sekali aku panjatkan lewat mulut comel yang iseng berucap, “Ya Tuhan, jadikanlah aku perajut kata yang mampu menyusun kata-kata sederhana menjadi kidung yang menerangi malam tanpa purnama. Biarkan aku tenggelam dalam lautan kata-kata yang sekelam lautan dalam, dan biarkan aku menghilang dalam ketiadaan dimana kata kehilangan rupa, kehilangan ucap, kehilangan makna dan akhirnya terlupakan.” Atau mungkin semua yang aku alami sekarang adalah sugesti dari kata-kata yang pernah terucap, “Biarkan biru menjadikanku abu dan merah menjadikanku dewa.”

Semakin aku terlarut dalam semua romansa yang sudah dan hampir terlewati, mentari pun semakin kehilangan tempatnya di sudut cakrawala sedang temaram mulai berganti gelap, dan ketika temaram tak mampu lagi mempertahankan eksistensinya aku harus segera bangkit meninggalkan senja yang indah ini sambil mempersiapkan diri untuk bergelut dipekatnya malam. Berat memang, tapi mau bagaimana lagi biarkanlah biru tetap sebiru lautan dan merah tetap semerah darah, karena seberapa kuat keinginanku untuk merubah biru menjadi merah, tetap saja biru bukanlah merah dan merah pun tak akan pernah menjadi biru.

***

Entah kenapa keinginan untuk melanjutkan menulis novel Biru-Merah yang sudah lama tertunda kembali muncul, bahkan kali ini keinginan itu begitu kuat dan menggebu-gebu. Berawal dari tulisan “Ketika Diam Tak Lagi Emas” lalu berlanjut ke “Senja Temaram” mulai memunculkan inspirasi untuk membuat sekuel keempat dari novel “Biru-Merah”. Pada dasarnya sekuel empat ini belum akan menjadi akhir dari novel yang akan kubuat, karena aku masih harus mengarungi lautan biru yang luas. Semoga aku dapat segera menyelesaikan novel ini yang hanya akan berakhir ketika aku dapat menemukan arti dari merahnya merah.



Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
November 20, 2014 4:12 pm delete

biru - merah? itu chelsea vs arsenal maksudnya atau seragamnya barca? hahaha

Reply
avatar
Rhio.Jr
AUTHOR
November 20, 2014 4:25 pm delete

hahaha tepat sekali...

Reply
avatar

ConversionConversion EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng