Mengawali case pertama dalam tajuk sudut pandang, gw memutuskan untuk memulainya dari case jati diri. Karena dari pencarian jati diri inilah bagaimana gw membentuk logika berpikir, yang nantinya akan menentukan sudut pandang dari semua case-case yang akan gw ceritakan.
Dalam proses pencarian jati diri, dan gw punya standar tinggi untuk konsep yang ideal. Untuk mendapatkan konsep yang paling ideal menurut gw perlu dilakukan dialektika.
Dialektika adalah cara yang paling dinamis untuk menentukan tujuan hidup yang akan gw jalani. Dengan cara demikian ada trial and error dalam konsep diri dan mampu menentukan mana konsep yang lebih baik. Setidaknya itu yang gw pikirkan sebelumnya.
Dalam berdialektika gw sangat berterima kasih sekali kepada sahabat-sahabat dekat yang setia dan tidak bosan-bosannya mendengarkan celotehan gw. Mereka jadi bahan observasi, sekaligus teman untuk mengisi kesendirian dan kepenatan ketika gw cape berpikir.
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan primer setiap individu. Dalam prosesnya seseorang perlu untuk mengenali dirinya sendiri, disinilah peranan ego. Ego awalnya bersifat netral, tingkat pemenuhan ego berkaitan erat dengan intelektualitas dan wawasan seseorang. Semakin tinggi tingkatannya makan akan semakin tinggi pula tingkat pemuasan ego. Ego yang terlalu tinggi menyebabkan egois dan narsistik.
Secara teori gw mampu mendefinisikan ego. Tapi, diawal-awal masa pencarian, gw kesulitan untuk mengenali ego sendiri. ketidakmampuan tersebut karena pada saat itu ke-akuanku masih terlalu tinggi, sehingga menafikan hampir semua realita yang ada dan tenggelam dalam dunia khayal yang gw buat sendiri.
Pada titik ini gw merasa paling benar, karenanya gw akan selalu mendominasi ketika beradu pendapat dengan orang lain. Gw lebih banyak berdialektika dengan diri sendiri. Banyak hal yang gw simulasikan dalam dunia imajiner, sehingga ketika berdiskusi dengan orang lain gw mampu menebak arah pembicaraan, dan bahkan gw akan mengarahkan lawan bicara agar menerima opini gw. Lebih jauh gw akan mendoktrin lawan bicara dengan pendapat-pendapat gw. Hal ini gw lakukan agar bisa mengetes apakah konsep-konsep gw sesuai dengan apa yang gw harapkan tanpa perlu gw yang melakukan.
Tanpa sadar gw sudah terjebak kedalam fase egois dan tidak lagi mampu menerima pendapat orang lain. satu-persatu sahabat mulai hilang, entah karena kesibukan atau karena memang gw sudah menjadi orang yang tidak asyik lagi.
Dalam kesendirian gw akhirnya sadar ada yang salah dalam logika berpikir. Gw yang merasa pintar, serba tahu, merasa mampu dan merasa hebat disudutkan dengan keadaan yang tidak sesusai dengan apa yang gw harapkan.
Gw jalan ditempat ketika sahabat-sahabat gw yang lain sudah melangkah jauh di depan. semua dialektika yang gw lakukan menemukan jalan buntu dan terdapat banyak paradoks yang tidak bisa dijawab.
Sedih, galau dan rasa gagal mulai menghantui. Seketika ego gw runtuh ketika dihadapkan dengan apa yang namanya keterbatasan. Bersyukur, Yang Tidak Terbatas masih menolong dan tidak meninggalkan gw.
Ada satu hal yang gw lupa, pertanyaan paling mendasar dalam hidup. Dari mana? untuk apa? kemana? dan siapa? Disaat berada Di titik paling rendah Dia menuntuntun gw yang mulai tertatih dalam menjalani hidup. Ditamparnya gw dengan keras dengan kenyataan-kenyataan yang ada untuk membangunkan gw dari mimpi-mimpi kosong itu.
Dia yang Maha Rahman dan Maha Rahim, menunjukkan wujudnya di qalbu. Dia yang tadinya hanya konsep imajiner dari sebuah keberadaan yang tidak dapat dijangkau akal mengulurkan tangannya langsung ke keberadaan yang bukan apa-apa ini.
Diajarka-Nya bahwa Dia adalah yang Mutlak, ditunjukkannya bahwa diri ini hanyalah fana, dan yang fana tidak berarti apa-apa dihadapan yang Maha Mutlak. Keberadaan ini hanyalah penghambaan kepada yang Mutlak. Diingatkan-Nya tujuan penciptaan dan ditunjukkan-Nya jalan untuk meraih ridho-Nya.
Dari saat itu juga gw merasakan lezatnya hidup, dan mulai saat itu gw mampu mengucapkan rasa syukur dengan ikhlas. mungkin itu yang dinamakan mukasyafah.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon