Rania (Bag. 2)




Hujan mengguyur deras dan aku tertahan di sini, di toko ATK dekat rumah ku. Jika saja aku tahu akan hujan pasti akan ku bawa payung. Ah kenapa tidak ku dengar perkataan bibi, membatin ku. Dan aku dengan terpaksa menunggu di emperan depak toko, menunggu hujan reda.

Hujan makin deras dan tampiasannya mulai mebasahi pakaian ku, aku mengigil kedinginan. Kenapa tadi aku tidak menunggu di dalam toko, padahal mba-mba penjaga kasir sempat menyuruh ku untuk menunggu di dalam. Aku terus menunggu siapa tahu bibi datang menjemput ku, tapi sudah cukup lama bibi belum juga datang. Bagian bawah rok ku mulai kuyup oleh air hujan dan rasa dingin makin menusuk tubuh ku.  Melihat aku kedinginan seseorang yang dari tadi ikut menunggu hujan reda di sebelah ku melepaskan jaketnya dan memberikan kepada ku. Mba kedinginan ya?, tanyanya sambil menyerahkan jaket.

Aku cukup lama terdiam, dalam pikiran ku mulai muncul pikiran-pikiran aneh terhadapnya. Nih orang kenapa sih sok-sokan baik, pasti ada maunya. Hmmm, gimana kalau dia punya maksud yang enggak-enggak kepadaku. Apalagi malam ini cukup sepi, kalau dia macam-macam bisa apa aku. Kalau berteriak suara ku pasti kalah dengan suara derasnya hujan, bahkan jika ada yang menolong paling cuma mba penjaga kasir, bisa apa dia melawan laki-laki di samping ku ini. Ketika rasa parno makin menjadi-jadi dia berkata kembali. Ah sepertinya mbanya gak mau ya, ya sudah kalau memang tidak mau. Setelah itu lelaki di samping ku tidak berkata-kata lagi.

Kulihat jam ditangan ku, jam sembilan lewat dua puluh. Sudah hampir dua jam aku tertahan disini. Kaos yang ku kenakan sudah basah seluruhnya, membuat pakaian dalam ku samar-samar terlihat dari balik kaos yang aku kenakan. Aku makin tidak berani untuk menoleh ke samping, pasti lelaki di samping ku sedang memperhatikan lekuk tubuh ku yang terkena air hujan ini. Aku jadi ketakutan dengan pikiran-pikiran ku sendiri. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran ku untuk berlari kerumah sambil hujan-hujanan. Toh baju ku juga sudah terlanjur basah. Tanpa pikir lama aku mulai berlari, dan tiba-tiba sesosok tangan kuat menggenggam tanganku. Aku tertahan tidak bisa melepasnya.

Tanpa sadar aku berkata, “Sebenarnya kamu mau apa sih? Mau memperkosa ku? Aku tidak sudi, cepat lepaskan tangan ku bajingan, atau aku akan berteriak.” Aku terus menyerocos memberondongnya dengan perkataan yang sedari tadi berkecamuk dalam pikiranku.

Mendengar ocehan ku, dia tidak melepaskan gemgaman tangannya. Sekuat tenaga aku mencoba melepasnya tapi tidak bisa. Aku melepas kantong plastik yang sedari tadi ku pegang di tangan kiri ku dan memukul dadanya keras-keras. Melihat dia tidak goyah, air mata mulai menetes dan rasa takut makin mencekam. Apakah aku akan ternodai, bagaimana dengan masa depan ku. Aku tidak sanggup memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tak., tiba-tiba dia menjetikkan jarinya di jidat ku. Dengan tangan kiri aku menggosok-gosok jidat ku yang terasa sakit. Selagi teralihkan dengan rasa sakit. Dia mulai berkata sambil tersenyum, “Dasar cewek labil, kamu ini mikir apa sih, ko mesum banget. Pasti kebanyakan nonton sinetron atau keseringan baca majalah kriminal. Makanya pikirannya jadi kotor.” Aku jadi terdiam mendengar dia balik memberondongku dengan pernyatannya itu.

“Sudah kamu jangan nekat hujan-hujanan. Sini ikut aku.” Dia menarik ku masuk kedalam toko.

Di dalam toko dia berbicara dengan mba penjaga kasih. “Cin, lu punya baju ganti ga?”

“Kenapa emangnya?”

“Boleh gw pinjem?”

“Enak aja lu minjem, minjem. Yang ada ntar lu apa-apain lagi baju gw.” Jawab Mba-mba kasir sambil senyum-senyum ke arahku.

“Udah lah Cin jangan bercanda kasihan tuh dia menggigil kedinginan.” Kata laki-laki yang menyeretku sambil menunjuk ke arah ku.

“Ada sih tapi nanti gw gimana? Masa ga pakai baju?”

“Masih aja bercanda ya, kan baju yang lu pakai masih kering.” Wajah laki-laki itu mulai kesal dibercandai si mba kasir.

“Iya-iya, gw ada ko. Ayo neng sini ikut, sekalian nanti ganti bajunya di belakang. Tenang aja kalo ada yang berani ngintip nanti aku colok matanya.” Sambil melirik ke laki-laki itu. Aku pun berjalan mengikuti Mba penjaga kasir.

 “Tunggu sebentar ya, aku ambil bajunya dulu.” Kata si Mba itu. Sebenarnya aku ingin menolaknya, tapi rasa dingin ini sudah tidak bisa ku tahan.

Aku memperhatikannya saat membongkar tasnya untuk mencari pakaian.

“Cantik.” Tanpa terasa perkataan itu terucap dari mulutku.

“Hey, aku ini wanita normal loh. Walau pun kamu memuji aku tidak akan tertarik.” Katanya sambil tersenyum.

“Ah, bukan begitu maksud ku mba. Tapi mba memang benar-benar cantik.”

“Jangan panggil mba, panggil saja Cindy lagian sepertinya umur kita tidak terpaut jauh. Aku bercanda loh, jangan di anggap serius.”

“Iya mba, eh Cin.” Kataku tergagap karena tidak terbiasa.

“Lalu siapa nama mu?”

“Saya Rania, tapi panggil saja Rani.”

“Eh Ran, tadi itu aku nonton drama bagus loh. Kocak sih tepatnya.”

“Drama apa mba?” tanya ku seolah-olah penasaran.

“Itu tadi di depan toko. Apalagi Ran, waktu si pemeran wanita nangis dan mulai memukul si cowok ...”

“Ih apa sih mba?” kata ku memotong.

“Hehe, beneran loh lucu. Apalagi pas ngelihat ekspresi wajah si pemeran wanita.” Mendengan ucapan Cindy wajah ku jadi tersipu. Mungkin benar apa yang di katanya, adegan tadi seperti yang ada di sinetron-sinetron terlalu klise.

Sambil ganti baju kami ngobrol cukup banyak. Di sela-sela pembicaraan aku bertanya siapa laki-laki itu. “Mba dia itu pacarnya mba ya?”

“Hmmm, gimana bilangnya. Bisa di bilang begitu sih, tapi juga bisa di bilang bukan. Yang jelas dia butuh aku tapi aku tidak butuh dia. Eh iya Ran, sebenernya sih aku ingin tendang dia jauh-jauh tapi kasihan.” Cindy menjelaskan sambil tertawa.

“Kalo seperti itu, kenapa tidak bilang saja. Kan kasihan mba?”

“Wah-wah jadi mulai simpati nih kamu, kalau gitu ya buat kamu aja.” Kata Cindy menggoda ku.

“Bukan begitu, aku cuma kepikiran gimana nantinya kalau dia tahu? Eh iya ngomong-ngomong siapa namanya?”

“Namanya Rio, Sudah jangan dipikir dia itu lebih kuat dari apa yang kamu kira. Orang seperti dia pasti cepet cari gantinya kalau putus. Nitip dia ya Ran kalau aku ga ada.”

“Ih mba ini apa sih?”

“Cindy! jangan panggil mba?”

“Please mba aja ya, lagian kayanya kamu lebih tua dari ku. Please, please ya?” kata ku memohon.

“ya sudah deh kalau itu mau mu.” Kata Cindy sambil menghela nafas.

 Akhirnya aku selesai ganti baju dan kembali ke depan.

“Yo Sudah nih, sudah cantik kan?” kata Cindy sambil menunjuk ke arah ku.

“Cantik apaan? Cewek saiko kaya gitu dibilang cantik.” Jawab Rio cuek.

Sejujurnya aku kesal dengan ucapannya itu,  lalu ku balas perkataannya “Iya aku memang saiko, tapi kamu lebih saiko lagi. Ngapain coba nguntit aku tadi? Jawab ku tidak mau kalah.

“Iya, tadi itu seru loh yo dramanya.” Kata Cindy sambil cekikikan menimpali.

“Cin, gw pinjem payung lu ya.” Kata Rio Acuh.

“Ga ah, nanti gw pulang pakai apaan.”

“Ya pakai payung lah.” Jawab Rio lagi.

“Ya kalo payungnya di pinjem sama lu gimana gw bisa balik, suruh ujan-ujanan gitu.”

“Otak lu setengah ya, kan ntar gw bisa balik lagi kesini.”

“Lah emang lu mau kemana?” tanya Cindy sambil melirik ke arah ku.

“Gw mau anter nih cewek saiko, kalo ga dipinjemin ntar dia bakal ujan-ujanan lagi.”

“Oh jadi gitu ya, jadi lu udah berani main di belakang gw. Terang-terangan lagi.”

Aku yang mendengar percakapan dua orang ini jadi bingun sendiri. Sebenernya mereka lagi apa sih? Lagi main drama?

Percakapan di antara mereka terus berlanjut, Aku melihat adegan per adegan antara Si wanita yang spontan dan blak-blakan dan si pria yang jaim dan tidak mau kalah. melihatnya aku jadi senyum-senyum sendiri.

Sambil bergelayut di lengan Rio Cindy berkata sambil cemberut. “Ya sudah tapi jangan lama-lama. Jangan ngopi-ngopi dulu di sana.”

“Iya Cin. Gw langsung balik ko.” Kata Rio sambil mencubit hidung Cindy.

Melihat mereka mesra-mesraan aku jadi baper sendiri, seumur hidup aku belum pernah merasakan pacaran. Merasa mencintai sih sering, tapi merasa dicintai masih misteri bagiku, entah bagaimana rasanya.

Cindy memberikan payungnya kepada ku lalu berkata kepada Rio. “Payungnya cuma cukup buat satu orang, gw ko jadi parno ya Ran. Ntar ini cecunguk macem-macem lagi sama lu ngambil kesempatan dempet-dempetan.” Kata Cindy.

“Kalo gitu aku pulang sendiri aja mba, rumah ku ga terlalu jauh ko. Nanti biar pak mono yang anterin balik payungnya.”

Tanpa banyak bicara Rio mengambil payung yang ku pegang dan membentangkannya. “Ayo sudah malam, kamu bakal kesiangan kalo ga buru-buru pulang. Lagian kamu belum buat persiapan MOS besok kan?”

Ku lihat jam dinding, pukul sepuluh. Sudah malam ternyata, aku mencari plastik belanjaan ku, kertas karton dan bebera belanjaan lain basah. Aku mencoba untuk mengganti peralatan itu tapi
Rio segera berbicara. “Sudah aku siapkan saat kamu tadi ganti baju. Ayo cepat sudah malam.”

Payung di serahkan kepada ku, aku berjalan gugup di bawah guyuran hujan. Hati ku sedikit dag dig dug, belum pernah sebelumya berjalah hanya berdua dengan cowok. Setelah berjalan beberapa langkah sepertinya Rio belum mengikuti ku, penasaran aku menengok ke belakang. Aku menghela napas panjang melihat apa yang terjadi, Cindy menarik Rio untuk menunduk dan sejurus kemudian ku lihat dia mencium pipi Rio. Tatapan kami berpandangan, matanya seolah-olah bicara menegaskan bahwa laki-laki itu miliknya.

Dengan perasaan malu aku bergegas memalingkan wajah ku, dan tidak berapa lama Rio berlari menyusul. Dengan canggung aku menyuruhnya untuk mendekat tapi Rio dengan sopan menolak. Sekali lagi aku menongok ke belakang ke arah Cindy. Ku lihat Cindy tersenyum kepadaku. Aneh, di antara hari-hari yang dalam hidup ku, hari ini adalah hari yang paling aneh yang pernah aku alami.

ConversionConversion EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng