The Last Relics


Dengan menyebut nama Allah Ya Rahman Ya Rahim. Hati ini bukanlah milik ku melainkan kepunyaan-Nya, Dia yang berkehendak menjadikannya baik atau menjadikannya buruk sedangkan aku hanyalah seorang yang diamanahkan untuk menjaganya. Berbekal akal sebagai penimbang dan hawa nafsu sebagai pemacu. Dia yang maha Rahman memberikan ujian untuk ku. Apakah hati ini akan tetap putih bersih atau akan menghitam sekelam malam.
Demikian prolog yang sok bijak J.
Ga terasa tiga puluh tahun lebih waktu berlalu begitu saja tanpa pencapaian yang berarti. Semuanya serasa terbuang begitu saja, kebanyakan berpikir, menimbang dan sok realistis membuatku terlalu takut untuk mencoba membuat sebuah gebrakan, mencoba bermain aman di zona nyaman. Ternyata bermain aman tidak selamanya membuatku nyaman. Sesekali aku mencoba sebuah dobrakan-dobrakan kecil sekedar untuk memacu adrenalin agar hidup tidak terasa monoton. 
Datar, mungkin begitulah orang-orang melihat kehidupan ku ini, padahal nyatanya tidak. Aku adalah seseorang dengan kompleksitas rumit dari hasil deduksi atas realitas dan moralitas yang ku observasi dari sekitar. Dengan kapasitas logika di atas rata-rata orang lain tidak menjadikan ku sebagai seorang yang supel, aku malah terjebak dengan pikiran-pikiranku sendiri, menjadi sombong, arogan dan selalu merasa menjadi yang terbaik. Dengan kelebihan tersebut aku menjadi pribadi yang agresif dan tukang kritik. Sedikit saja melihat kesalahan seseorang aku tidak segan-segan untuk mengkritik dan memaksakan pemikiran yang benar menurutku, hingga teman-temanku memberi julukan jenius dengan konotasi negatif bermaksud untuk mengolok-olok. setelah merenung ternyata tidak jarang aku mempermalukan seseorang ketika sedang berargumen. Menyadari hal tersebut aku jadi lebih banyak diam untuk menjadi pendengar yang baik walau dalam kepalaku sering kali berkecamuk antara meluruskan atau tetap diam.
Ternyata hal tersebut tidak membuat hidupku menjadi lebih baik, mereka mulai membuat julukan baru “Orang Aneh” dan hanya berbicara seperlunya kepada ku. Aku tidak akan mengerti kenapa orang-orang mulai menjuluki begitu jika saja salah seorang teman dekat ku tidak menjelaskannya padaku. Katanya, ketika diajak bicara awalnya aku terlihat sangat antusias namun di tengah-tengah pembicaraan aku sering teralihkan melamun dan menjadi kurang responsif, usut punya usut ternyata pada saat-saat tersebut aku sedang berdialog dengan diriku sendiri mendiskusikan permasalahan yang dilontarkan lawan bicara.
Di cap sebagai orang aneh, aku mulai membatasi interaksi sosial dan cenderung menghindar menjadikan ku sebagai pribadi yang introvert. Aku hanya berteman dengan diriku sendiri, semua hal aku diskusikan sendiri di dalam kepalaku. Ibu ku kadang suka khawatir karena sering melihat aku berbicara sendiri lalu menegurku.
Aku sadar bahwa ini bukanlah hal yang baik, semua pikiranku menjadi sangat subjektif dan jauh di lubuk hati aku menginginkan seseorang untuk tempat berbagi.
---

Ya allah, berikanlah hambamu ini ketenangan hati.
Previous
Minus 5

ConversionConversion EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng