Sabtu pagi, jam baru menunjukkan
pukul setengah tujuh. Bruumm, dreded… ded… ded… suara motor yang sedang
dipanaskan. Biasanya jam segini Firman masih tidur dan baru bangun pukul
setengah sembilan, tapi hari ini berbeda dia akan menjemput pacarnya. Setelah mengunci
pintu Firman segera berangkat.
Diperjalanan Mila melihat Firman,
dia berteriak untuk memanggil tapi percuma. Entah karena tertutup helm atau hal
lain sampai Firman tidak mendengar panggilan yang cukup keras. Beberapa orang
melirik ke arah Mila, merasa malu diperhatikan Mila mempercepat langkahnya. “Tumben
pagi-pagi udah bangun, lagian mau kemana buru-buru sampe ga ngedenger teriakan
gw.” Kata Mila dalam hati.
Seperti yang sudah dijanjikan
sebelumnya Nia dan Firman sampai di rental pukul setengah delapan. Setelah
beres-beres mereka mulai mengerjakan laporan KKP. Nia mengeluarkan catatannya
selama berkegiatan, semua pengalaman yang didapatnya ditulis dengan detail dan
rapi. Walau demikian Nia masih kesulitan untuk menyusun dalam bentuk laporan.
“Wah mi, kalo gini sih jadi
gampang nyusunnya. Paling tinggal nyari beberapa referensi aja di google buat
tambahan.” Tanpa banyak bicara lagi Firman langsung mengetik dan mulai
tenggelam di dalamnya. Jemarinya sangat lancar memencet tuts keyboard sedangkan
matanya fokus ke buku catatan.
Nia sangat kagum melihat
keseriusan Firman. Ditumpangkan dagunya di lengan kanannya dan dipandanginya
Firman lekat-lekat. Nia mulai bicara di dalam hatinya, “Firman, tidak terasa
sudah delapan bulan kita berpacaran, jika saja kita tidak bertemu lagi mungkin
nyala api di dada ini sudah benar-benar padam dan semua kenangan dulu tidak
akan pernah muncul lagi.”
Sedikit flashback ke belakang, Nia pertama kali bertemu Firman saat masih
SMA, waktu itu dia masih anak baru sedangkan Firman sudah kelas tiga. Awal
pertemuan mereka dikarenakan sebuah insiden tuan
putri (mungkin lain waktu akan diceritakan), sejak saat itu hatinya selalu
berdegup kencang ketika bertemu Firman. Kenangan terakhirnya adalah ketika dia
memberanikan diri memberikan coklat kepada Firman dan entah apa yang salah saat
itu pula Firman mulai menjauhi dirinya.
Kala itu Nia merasakan sakit yang teramat sangat dihatinya.
Masa lalu hanyalah tinggal
kenangan, dan yang masih mengganjal di hati Nia adalah alasan Firman
menjauhinya waktu itu. Butiran peluh membasahi kening Firman, walau ada kipas
angin tapi musim kemarau ini terasa sangat panas. Nia mengeluarkan sapu tangan
dari tasnya, kemudian berjalan ke arah Firman, di usapnya keringat yang ada di
dahi Firman, “Ndut, udah dulu ngetiknya. Kamu kelihatan cape.”
“Sebentar Mi tanggung, nyelesain
bab II dulu.” Kata Firman sambil tetap mengetik.
“Duh Ndut, aku jadi makin cinta
sama kamu” kata Nia dalam hati.
Setengah jam kemudian Firman
sudah selesai mengetik Bab II, “Mi udah selesai nih, coba di periksa dulu! Ada
yang kurang ga?” Nia menggantikan posisi Firman di depan komputer, bersamaan
dengan itu terdengar bunyi pagar depan dibuka oleh seseorang. Firman menarik
kursi mendekat ke arah Nia. Sambil duduk firman mencium tangan nia, “Mi aku
sayang banget sama kamu.”, “Iya Ndut aku juga sama.” Sambung Nia sambil terus
membaca. Posisi mereka tetap seperti itu untuk beberapa lama.
Tanpa mereka sadari ada seseorang
yang memperhatikan mereka sejak tadi. Seorang wanita terlihat menyilangkan
tangan di atas perut sambil menyender di pintu. Matanya memperhatikan mereka
dari belakang. Mila, ya wanita itu adalah Mila. Tampangnya sangat kesal,
sebenarnya dia ingin terus melihat mereka berdua adegan per adegan, tapi
hatinya sudah terlanjur sakit dan muak dengan apa yang dilihatnya. “Man, Gw mau
nyetak foto dong.” Katanya tiba-tiba.
Firman menengok ke belakang dan
kaget bukan kepalang, hampir saja dia jatuh dari duduknya jika saja tidak
sedang berpegangan tangan dengan Nia. Akibat reaksi Firman tangan dia sedikit
tersentak, “Kenapa Ndut?”, “G-g, ga papa ko Ni, eh Mi.” Firman tergagap, bingun
bagaimana harus memposisikan diri. Nia menoleh ke belakang. “Ndut tuh ada yang
mau cetak foto.”
“Man, bluetooth-nya aktifin dong, gw mau kirim nih foto-fotonya.” Kata
Mila.
Firman tidak langsung merespon, pikirannya
masih mengawang kemana-mana. “Eh si Ndut malah diem. Mba mau pakai
komputernya?” kata Nia kepada Mila. “Gapapa ko, saya pakai komputer yang itu
saja.” Jawab Mila. Kemudian Mila menepuk bahu Firman sambil berkata, “Man, mana
bluetooth-nya?” Firman buru-buru
berdiri dan mengambil bluetooth yang
tersimpan di laci dekat komputer yang Nia pakai. “Ini bluetooth-nya” kata Firman. “Lu aja deh yang pasang! Gw ga ngerti.”
Kata Mila.
Selanjutnya kejadian terjadi
biasa saja, entah apa yang dirasakan Mila tapi dia terlihat berjiwa besar. Setelah
mencetak foto Mila pamit untuk pulang. “Ndut tadi itu siapa? kayanya Mimi kenal
deh.” Dari tadi Nia mencoba mengingat-ingat tapi benar-benar lupa dimana pernah
bertemu. “Itu tadi namanya Mila, dia juga sekolah di sekolah yang sama kaya
kita, waktu Ndut kelas 3 dia masih kelas 2 SMP.” Kata Firman mencoba
menjelaskan. “Oh pantesan, kayanya Mimi pernah liat.” Setelahnya sampai sore
tidak ada lagi pelanggan yang datang, Firman jadi leluasa mengerjakan laporan
untuk Nia.
Sudah pukul empat sore tinggal
dua bab lagi yang belum selesai, akhrinya mereka memutuskan untuk
melanjutkannya besok. Setelah menutup rental Firman mengantarkan Nia Pulang.
Sepanjang perjalanan hati Firman merasa tidak tenang, bukan karena ke gep oleh Mila melainkan sesuatu yang
lain. “Mi, kayanya perasaan Ndut ga enak deh.”, “Kenapa Ndut?” tanya Nia sambil
mengeratkan pelukannya di perut Firman. “Ga tau nih, semoga ga kenapa-napa di
jalan.” jawab Firman. “Ih, Ndut ga boleh mikir begitu, udah fokus aja kejalan.”
Nia mencoba menenangkan.
Mereka sampai jam setengah enam
sore. Firman merangkul pinggang Nia ketika Nia mencoba membuka pintu pagar rumahnya.
“Hey, lepasin tuh tangan?” teriak seorang pria setengah baya yang baru saja keluar
dari dalam rumah. Mendengar teriakan itu Nia langsung menepis tangan Firman,
sambil berbisik dia berkata “Dut lepasin ada ayah.” Mendengar hal tersebut
Firman langsung melepaskan rangkulannya.
“Nia cepat masuk!” kata pria itu sambil
menarik paksa lengan Nia, Nia langsung berlari ke dalam rumah. “Siapa kamu?”,
“Saya Firman om.” Kata Firman gugup. “Dasar kurang ajar. Berani-beraninya kamu
rangkul anak saya. Cepat sana pulang!” Teriak pria tersebut.
Firman tertunduk lesu, dia
berjalan ke arah motor dan mulai menstaternya, dred… ded… ded… suara motor.
Firman pergi tanpa menoleh sedikit pun, mungkin ini firasat tidak enak yang dia
rasakan sebelumnya.
Ayah Nia menggedor-gedor pintu
kamar Nia, terlihat dia tidak bisa menahan amarahnya “Nia Cepat buka! Kamu harus
menjelaskan semuanya sama ayah!”. Nia tidak menjawab dan membuat ayahnya
semakin keras menggedor pintu kamar.
Dari belakang ibu Nia mencoba
menangkan, “Yah sudah, sudah biarkan Nia istirahat dulu.” Ditariknya suamianya
itu untuk meninggal Nia dan menceritakan semuanya yang dia tahu antara Firman
dan Nia kepada suaminya.
Pukul setengah delapan Firman
sampai di rental terlihat pintu rental terbuka dan ada beberapa pengunjung yang
datang, di dalam dia melihat Yanto rekan kerjanya sedang mengetik. “Eh elu Man,
dari mana aja lu tadi si Mila dateng nyariin. Katanya lu suruh ngehubungin dia.”
Kata Yanto ketika melihat Firman datang. Mendengar perkataan Yanto Firman jadi
depresi.
Firman mulai membatin, “Mila
pasti marah banget gara-gara tadi, hari ini gw bener-bener sial. Tapi kenapa ya
ko si Mila nyuruh gw ngehubingin dia, padahal kan kalo orang marah pasti ga
bakal mau ngomong, yah minimal seminggu gw bakal dikacangin.”
Di keluarkannya ponsel dari
kantong jaket ada belasan panggilian masuk dan semuanya dari Mila “Sial
bagaimana ini ternyata dari tadi Mila
nyoba ngehubungin gw.” Firman tidak bisa berpikir jernih tapi dia harus segera
menghubungi Mila. Dia mulai mengetikkan sms, berkali-kali dia menulis dan
menghapus sepertinya dia tidak menemukan kata-kata untuk meminta maaf. Hati
wanita memang sulit ditebak, Firman tidak dapat menerka apa yang Mila maksud,
membuatnya merasa enggan untuk mengirimkan sms.
Dreeet… Dreeett… hp Firman
bergetar, ada panggilan masuk dengan nomor tak dikenal. Tanpa curiga dia menjawab
panggilan tersebut. “Halo.”
“Halo, yank lagi dimana?” Surprise, Firman benar-benar terkejut, ternyata
yang menghubunginya adalah Mila. Hari ini sudah beberapa kali adrenalinnya
terpacu munkin dia sudah terkena serangan jantung jika saja memiliki lemah
jantung. “Yank bisa kerumah kan sekarang? Jangan bilang ga bisa! Nemuin cewek
tadi aja bisa masa nemuin gw ga bisa.” Firman merinding bulu kuduknya berdiri
semua, bukan karena ada setan lewat melainkan perkataan Mila yang membuatnya
seperti itu. “Gw tunggu pokoknya!” lanjut Mila.”, “I iya gw berangkat sekarang.”
Jawab Firman dengan berat hati.
Setengah jam kemudian Firman
sampa di rumah Mila, dilihatnya bapak dan kakak laki-laki Mila duduk di teras. “Assalamu’alaikum.
Pak Milanya ada?”
Kedua orang itu tidak langsung
menjawab, sorot mata keduanya tajam mengawasi Firman. “Walaikum salam” jawab
keduanya hampir berbarengan. “Mil, ada si Firman Nih?” panggil bapaknya Mila. “Iya
pak, suruh tunggu sebentar.” Jawab Mila dari dalam.
Firman ikut duduk dengan mereka dan
hanya diam saja, ada perasaan kaku diantara mereka bertiga. Tiba-tiba kakaknya
Mila menyeletuk “Pak, saya ga habis pikir kenapa ya ada orang yang suka berselingkuh.”,
“Siapa Di yang selingkuh?”, “Enggak pak, Adi Cuma denger aja dari orang.” Mendengar
percakapan mereka Firman semakin tidak berkutik. “Man, kamu ga begitu kan?”
tanya Bapak Mila. “Eng enggak pak.” Jawab Firman gugup. “Awas saja kalau kamu
berani-berani nyoba nyakitin perasaan anak saya!” lanjut Bapak Mila. “Iya pak.”
Jawab Firman sambil menunduk. “Iya Man awas lu kalo berani nyakitin ade gw.” Sambung
Adi.
Firman sudah kehabisan kata-kata
untuk menjawab mereka, untung saja saat itu Mila segera keluar. Setengah berlari
dia menarik tangan Firman “Pak Mila kedepan dulu ya?”, “Iya, tapi jangan
jauh-jauh.” Jawab bapaknya.
Firman ingat sesuatu “Eh bentar Mil,
gw lupa tadi beli martabak.” Firman bergegas menuju motor dan menyerahkan
Martabak ke bapaknya Mila, setelahnya mereka berjalan ke tempat biasa ngobrol. Tempatnya
sedikit tidak biasa, dekat tikungan jalan masuk kerumah Mila ada bangku di
bawah pohon jambu batu yang lumayan lebat, suasananya cukup temaram karena
pencahayaan hanya berasal lampu tiang listrik yang berjarak sekitar lima meter,
yang istimewa dibelakang tempat itu adalah pemakaman umum dan jarang sekali
orang yang lewat jika sudah malam seperti ini.
Firman duduk agak menjauh dari
Mila mereka hanya terdiam, ada perasaan canggung diantara keduanya. Jelas di
hati keduanya ada perasaan bergemuruh yang makin lama makin sulit untuk
ditahan. “Yank…” Blaarrr, suara keduanya bersamaan memecah keheningan. Sebagai lelaki
Firman mengambil inisiatif untuk berbicara duluan, toh dia yang bersalah “Mil
gw minta maaf, selama ini gw bohong kalo cuma lu satu-satunya yang ada dihati
gw. Cewek yang lu liat tadi di rental namanya Nia, udah delapan bulan gw
pacaran sama dia. Waktu itu ketika gw jadian sama lu dia lagi Kuliah Kerja
Praktek, dua minggu gw ga ketemu dan jarang nelpon karena takut ngenganggu dia,
waktu itu juga hati gw ngerasa kosong serasa ada bagian yang hilang sampai
akhirnya tiba-tiba kita ketemu lagi. Entah kenapa perasaan nostalgia muncul gitu
aja. Sekedar lu tau semua yang gw ucapin waktu itu ga bohong dan rasa cinta antara
lu dan dia sama besarnya, munafik kalo sekarang gw bilang lebih milih lu daripada
dia. Cewek sebaik lu ga cocok sama bajingan kaya gw jadi gw rasa lebih baik
kita p…” sebelum Firman menyelesaikan bicaranya Mila bangkit dan langsung
mencium Firman.
Mata Mila berkaca-kaca, “Udah
lama gw tau itu semua.”, “Tapi Mil…”, “Bodoh, seharusnya lu udah tau sebesar
apa perasaan ini. Sebelumnya gw pernah bilang kalo ciuman pertama gw cuma buat
orang yang akan menjadi suami gw kelak. Kalo ga bener-bener cinta gw ga bakal
ngelanggar perkataan gw sendiri.”
Mendengar perkataan Mila hati
Firman menjadi luluh, tanpa terasa air mata mengalir dipipinya, rasa bahagia
dan bersalah campur aduk di dadanya. Bermaksud tidak ingin melewatkan kesempatan
itu mereka berdua kembali berciuman, kali ini lebih mesra.
Bersambung…
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon