SEBUAH KEBIJAKSANAAN

www.sant45.tk


“… KAMU TAHU TIDAK PERBEDAAN ANTARA RUH DENGAN JASAD …” Kata orang yang sedang berhadapan denganku. Arogan, setidaknya itulah pandanganku terhadap orang itu.

Sebelum jauh bercerita ada baiknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Aku hanyalah orang biasa, bodoh, dan udik, tapi setidaknya masih punya hal yang dibanggakan yaitu tatakrama dan sopan santun. Sedangkan orang yang ada di hadapan ku (orang itu) adalah seorang Sarjana Teologi, berwarasan luas dalam ilmu agama, ahli filsafat (katanya), seorang yang sedang berada di pucuk pimpinan dan tulisannya sering muncul di tajuk opini sebuah koran daerah. Seorang yang harusnya memiliki wibawa dan kebijaksanaan yang tinggi.


Secara garis besar cerita ini ingin menampilkan sebuah gagasan mengenai bijaksana/kebijaksanaan dari dua sudut pandang yang berbeda antara Si Aku dan Orang itu.

Dalam sudut pandang Orang itu, Bijaksana mengerucut ke sebuah pemahaman yang berarti sebuah ketegasan mutlak dalam memutuskan sebuah masalah, dengan keputusan yang bersifat hitam putih,  benar atau salah, tanpa terlebih dahulu memikirkan hukum sebab akibat dan sama sekali tidak memikirkan faktor-faktor lain yang akan dan atau mungkin berhubungunan dalam sebuah permasalahan, dimana hasil keputusan harus ditelan bulat-bulat tanpa harus dipertanyakan.

Sedangkan dalah sudut pandang Aku, Bijaksana/Kebijaksaan adalah hasil keputusan yang berupa solusi terbaik dari sebuah permasalahan dengan terlebih dahulu mencari dan memecahkan akar dari permasalahan, tanpa harus menghilangkan sisi kemanusiaan, agar dapat diterima dengan dengan baik oleh semua pihak tanpa menimbulkan konflik baru yang diakibatkan kebijakan yang telah diambil.

Kembali ke cerita …

Dengan membawa sedikit asa aku berjalan menuju kantor yayasan sebuah sekolah, berharap seseorang yang ku temui ini dapat memberikan solusi dari masalah yang akan aku ajukan.

“Tok, tok, tok, Assalamu’alaikum.” Ucap ku di depan sebuah ruangan.

“Wa’alaikum salam. Oh kamu ayo silahkan masuk.” Jawab orang yang baru saja keluar dari dalam ruangan, lalu mempersilahkan saya duduk. Tidak lupa saya mencium tangan orang itu sebelum duduk sebagai tanda hormat atas orang yang sebelumnya ku kagumi ini.

Mata ku menerawang ke segala arah ketika memasuki ruangan, ternyata tempat ini sudah banyak berubah sejak terakhir kali saya melihatnya.

Dengan sedikit basa basi aku berkata, “Wah tempat ini sudah banyak berubah ya pak.”

Tanpa menjawab pertanyaan ku orang itu langsung bertanya, “Ada perlu apa?”

Sebelum menjawab aku sempat memperhatikan mimik wajah orang itu, ada perasaan acuh dan tidak senang terpancar dari mukanya.

“Begini pak, sebelum kesini saya bertemu dengan kepala sekolah. Saya berniat untuk mengambil ijazah adik saya yang belum sempat di ambil sekaligus ingin melunasi tunggakan yang belum dibayarkan.” Perkataan ku langsung ke pokok permasalahan.

“Oh bagus, ya sudah tinggal di lunasi saja terus ambil ke kepala sekolah. Lalu kenapa kamu kesini?” Ucap orang itu dengan nada sedikit sinis.

Orang itu kemudian mulai menusuk air mineral dengan sedotan dan mulai menyeruputnya. Satu hal yang menjadi pertanyaan dalam hati ku, seharusnya sebagai tuan rumah orang ini menawarkan terlebih dahulu minuman kepada tamunya sebelum dia meminum minumannya sendiri. Mungkin dia sangat haus sampai lupa menawarkan minuman atau memang itu kebisaannya dalam menerima tamu. Ah aku tidak ambil pusing, lagi pula saat itu aku  tidak sedang merasa haus.

Aku yakin orang ini sudah tahu maksud kedatangan saya, sehingga dari awal dia sudah memasang wajah agak sinis. Dan aku juga tahu kalau sudah banyak orang yang berhadapan kepadanya dengan masalah yang kurang lebih sama dengan masalah ku ini. Aku pun maklum dengan sikapnya itu, mungkin dia lelah menghadapi orang-orang seperti ku.

Aku lanjut bicara, “Tapi ada sedikit masalah pak…”

“Masalah apa?” dengan tiba-tiba orang itu memotong pembicaraan ku.

“Tapi uang yang saya bawa kurang pak, saya minta kebi…” jawab saya tapi orang itu lagi-lagi langsung memotong pembicaraanku.

“JUSTRU SAYA YANG TIDAK BIJAKSANA KALAU KASIH KAMU IJAZAHNYA…”

Blarrr, seakan kuping ku tersambar petir mendengar jawabannya itu. Dalam hati Aku berkata, ANJING banget nih orang, emangnya dia siapa berani bentak-bentak gua*.  Tapi aku meredam amarahku.

“Tapi pak sekali lagi saya mohon kebijaksanaannya”. Tanpa sadar saya mengucapkan lagi kata bijaksana, dan saya yakin dia akan mulai menegaskan lagi kata bijaksana dengan nada yang lebih tinggi.

“KAN SUDAH SAYA BILAAANG… (sambil menggeleng-gelengkan kepalanya). SAYA ITU TIDAK BIJAKSANA KALAU SAYA KASIH KAMU IJAZAHNYAAAA.”

Aku sudah hapal betul dengan nada bicaranya yang seperti ini. Waktu dulu ketika dia masih mengajar nada ini sering kali aku dengar ketika sedang marah. Satu hal yang belum aku beri tahu dia adalah guru ku ketika sekolah dahulu. Tapi kenapa dengan nada bicaranya itu? Apa dia sedang bernostalgia waktu mengajar dulu, atau memang saya ini orang bodoh yang pantas untuk di bentak-bentak?

“Memang sudah berapa lama ijazahnya belum di ambil?” Orang itu mulai menurunkan nada bicaranya.

Aku pun langsung bertanya ke adik saya yang ketika itu duduk disamping ku, “Dik, kamu ini sudah berapa lama Lulus sekolah?”

“Sekarang saya sudah kelas tiga SMP  Kak?” jawab adik ku.

“NAH ITU DIA, SEKOLAH ITU PUNYA KEBIJAKAN KALAU TIGA BULAN IJAZAH TIDAK DIAMBIL MAKA IJAZAHNYA SUDAH BUKAN DISINI LAGI TAPI DI DINAS. SEDANGKAN KAMU SUDAH TIGA TAHUN MASIH BELUM DIAMBIL.” Lagi-lagi orang itu nyerocos dengan nada tinggi.

“Tapi pak, sebelumnya saya mau bicara dulu. Tadi saya ke TU trus bertanya tentang tunggakan…”

“NAH ITU DIA, YA SUDAH SANA TINGGAL DILUNASI TERUS BARU BICARA LAGI DENGAN SAYA.” Nada bicaranya tidak menurun sama sekali.

“Sebentar pak saya jelaskan dulu….”

“APA LAGIIIIIII….” Sampai sini saya hampir tidak bisa menahan emosi.

Aku sadar saat ini sedang melakukan negosiasi, dan dalam kasus ini saya berada dalam posisi yang lemah untuk melakukan negosiasi, sedang orang yang dihadapan saya ini merasa mempunyai posisi yang kuat dalam negosiasi.

Seakan mengetahui pikiran ku orang itu lanjut bicara, “Begini, dalam negosiasi kali ini saya seperti membeli kucing dalam karung saja, tidak jelas! Sudah kamu bayar dulu ke TU baru bicara lagi.” Sambil mengibaskan tangannya bermaksud mengusir sedangkan senyum culas tersungging dalam bibirnya seakan sudah memenangkan negosiasi ini.

Aku tidak mau percakapan ini berakhir begitu saja dan jujur sampai saat ini masih belum mendapatkan apa yang saya harapkan. Aku pun mulai berbicara lagi dengan orang itu, tapi kali ini saya tidak menghiraukan perakataannya yang bermaksud memotong pembicaraan ku.

“Begini pak, maksud saya datang kesini memang meminta kebijaksanaan bapak, tapi sebelumnya saya mau memberitahukan bahwa saya sekarang membawa uang lima ratus ribu, dan memang kata ibu saya kekurangannya itu tinggal lima ratus ribu, makanya saya membawa uang pas. Tetapi waktu saya tanya ke TU ternyata masih ada tunggakan satu juta untuk SPPnya pak.”

“Ya itukan yang sudah tertera di sistem, sistem itukan….” Orang itu mulai berkilah.

Dalam hati Aku tahu apa yang ingin dia jelaskan, dan sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia sistem komputerisasi Aku lebih tahu bagaimana cara sistem komputerisasi itu bekerja dan bisa dibilang mustahil untuk mengubah data di sistem karena hal itu pasti akan mempengaruhi keseluruhan sistem. Apalagi jika berurusan dengan uang pasti akan menjadi hal yang sangat sensitif.

Tanpa maksud menggurui aku mengesampingkan masalah sistem dan sekali lagi mencoba menjelaskan duduk perkaranya.

“Waktu itu ibu saya mengurus masalah ini dengan Pak Mawar** (Kepala sekolah yang sebelumnya) dan seingat ibu saya memang kekurangannya tinggal lima ratus ribu lagi, saya tidak tahu menahu secara persis urusan itu karena memang bukan saya yang mengurusnya waktu itu.”

“Ya sudah sekarang kamu datang ke pak Mawar** saja, selesain sama dia. Saya tidak mau tahu.” Wajah orang itu terlihat sangat tidak senang. Entah apa yang terjadi diantara orang itu dengan pak mawar**.

Saya tahu kalau pak Mawar** sudah tidak ada lagi di sekolah itu, dan berpolemik dengan membawa pak Mawar** tidak akan membawa hasil. Tapi seharusnya orang yang sedang berhadapan dengan saya ini tidak lepas tanggung jawab begitu saja apalagi masalah ini memang masih dalam wilayah yuridisnya.

“Apakah memang tidak ada solusinya pak?” tanyaku sambil menahan geram.

“Solusi bagaimana, sudah jelas solusinya kamu tinggal bayar terus datang lagi kesini.” Kali ini nadanya lebih rendah tapi kesan meremehkan tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.

“Tapi…”.

“TAPI APAAA…?” belum selesai aku berbicara tapi langsung di potong.

“DARI AWAL KAMU INI SALAH, KENAPA TIDAK DARI AWAL DIAMBIL IJAZAHNYA. KENAPA BARU SEKARANG?” orang itu meneruskan bicaranya.

BANGSAT, NI ORANG EMANG UDAH GA BISA DIAJAK NGOMONG*, batinku.

Pada titik ini saya sudah tidak bisa lagi menahan amarah, kalau saja ada pisau pasti sudah saya tikam orang itu, bahkan jika ada garpu didekatku sudah saya tusukkan kematanya.

Orang itu terus mengoceh panjang lebar, tapi tidak ada satu pun omongannya yang ku dengar. Satu hal yang aku pikirkan bagaimana caranya untuk membungkam si sombong ini? Apakah dengan berdiri dari kursi yang kududuki ini, berjalan ke arahnya, menarik kerah bajunya kemudian melepaskan tinju yang bertubi-tubi kewajahnya. Atau Memakinya dengan luapan kata-kata kasar sambil meluapkan keudikan ku.

Astagfirullah, hampir saja aku melakukan sesuatu yang nekat hanya karena uang lima ratus ribu rupiah. Ku tekan kembali amarah ku sekuat mungkin, aku sadar meluapkan amarah tidak akan membuat semuanya menjadi lebih baik dan malah akan memperunyam keadaan.

Sudah menjadi kebiasaan entah sadar atau tidak ketika aku menahan emosi yang sedang meluap-luap ada suatu perasaan yang mendesir dari ulu hati yang naik ke dada, perasaan yang membuat aku ektase seketika, sebuah ekspektasi yang lebih hebat daripada sebatang mariyuana, mungkin. Hanya saja hal ini mempunyai efek samping, dalam keadaan seperti ini biasanya mata ku mulai berkaca-kaca dan bicara ku mulai terbata-bata.

Sedikit demi sedikit aku mulai tersadar dari lamunan ku, dan sayup-sayup suara orang itu mulai terdengar kembali di telingaku.

“… INTINYA DARI AWAL KAMU SUDAH SALAH! TIGA TAHUN…? KEMANA SAJA KAMU…? GILIRAN BUTUH BARU DATANG, MEMANGNYA KAMU TIDAK TAHU KALAU SAYA SUDAH SANGAT SABAR MENUNGGU ORANG-ORANG SEPERTI KAMU?”

Ya memang selama ini saya yang salah, kenapa baru kali ini saya baru saya mengurus pengambilan ijazah adik ku. Sebagai kakak seharusnya saya harus lebih peka dalam memperhatikan adiknya, batin ku.

Aku sangat setuju dengan argumen orang itu, tapi ini bukan saatnya berbicara benar dan salah. Ijazah, ya itulah yang saya butuhkan dan kedatangan saya pun dengan niat baik untuk melunasi semua tunggakan yang masih ada.

“Tapi pak, sudah saya bilang saya cuma bawa uang lima ratus ribu, dan kata ibu saya memang tinggal segitu kekurangannya.”

“LAH ITUKAN KATA IBU KAMU, SIAPA TAHU IBU KAMU BERBOHONG.” Celetuk orang itu.

Satu hal pak, anda sudah membuat saya terhina tapi jangan bawa-bawa ibu saya, anda sudah sangat berlebihan kali ini. Aku lagi-lagi membatin.

Aku merasa berdebat panjang lebar mengenai lima ratus ribu atau satu juta tidak akan membawa hasil. Sebenarnya aku sudah muak berhadapan dengan orang ini. Tapi sudah kepalang tanggung dan juga harus ada hasil karena memang keperluan ini sudah sangat mendesak.

“Oke pak, saya tidak akan mempersalahkan satu juta atau lima ratus ribunya. Hanya saja minimal saya minta legalisir fotokopi dan saya akan membayar lima ratus ribu dulu dan saya minta waktu satu atau dua hari untuk melunasi sisanya.” Ucapku diplomatis.

Senyum sumringah terlihat dari orang itu, aku yakin dia merasa menang kali ini. “CK CK CK (suara mulut berdecak), SEBELUMNYA ADA ORANG DARI NAMEX*** DIA JUGA MINTA HAL YANG SAMA. SAYA WAKTU ITU SUDAH MEMBERI KEBIJAKAN AKAN MEMBERIKAN IJAZAHNYA TERLEBIH DAHULU, DAN MEMBUAT PERJANJIAN AGAR ORANG ITU HARUS SEGERA MELUNASI DALAM WAKTU SATU MINGGU BAHKAN PERJANJIAN ITU SAMPAI DITULIS DI ATAS MATERAI. TAPI NYATANYA… SAMPAI SEKARANG DIA BELUM BAYAR SAMA SEKALI.  SUDAH DI TELEPON BERKALI-KALI DIA SELALU BERKELIT, TERAKHIR TELEPONNYA MALAH TIDAK BISA DIHUBUNGI.”

Aku mengerti dan memaklumi orang ini, mungkin dia tidak mau kejadian sebelumnya terulang kembali. Tapi jika tidak menghormati orang yang ada di depan ku, pasti aku sudah mengeluarkan kata-kata ini, BAPAK JANGAN MENGGENERALISIR SEMUA ORANG BEGITU SAJA, ORANG ITU MUNGKIN SUDAH BERBUAT SALAH, TAPI JUJUR SAJA KALAU MENYANGKUT HUTANG SAYA PASTI AKAN MELUNASINYA. BUKANNYA BAPAK DULU PERNAH MENGAJARI KEPADA SAYA HUTANG ITU AKAN DI TAGIH PERTANGGUNG JAWABANNYA DI AKHIRAT KELAK. JANGANKAN SATU JUTA BERAPA PUN PASTI AKAN SAYA LUNASI.

Ya jika saja saya tidak menghormati orang ini pasti saya akan mengeluarkan kata-kata tersebut dengan nada yang keras untuk menandingi kearoganannya itu, tapi sekali lagi saya masih menghormati orang itu, setidaknya waktu itu.

Jika orang itu punya sedikit hati nurani dan kebijaksanaan seperti yang di sebutkannya pasti orang itu bisa berpikir sejernih apa yang saya pikirkan. Dalam kasus ini uang satu juta rupiah yang tertera di sistem memang sebuah fakta yang tidak bisa dibantah. Tapi masalah lima ratus ribu yang disebutkan oleh ibu ku bisa menjadi hal yang patut dipertimbangkan, perkataan tersebut memang belum bisa di validasi karena aku tidak membawa kwitansi-kwitansi yang bisa memperkuat perkataan ibu ku (berhubung aku terburu-buru datang ke sekolah) dan seharusnya orang itu menyuruh saya untuk mempersiapkan bukti-bukti untuk memperkuat pernyataan ibu ku jangan seenaknya langsung memvonis begitu saja. Satu lagi Sebuah sistem komputerisasi memang hampir mustahil untuk salah, tapi faktor SDM yang mengelola sistem itu tetap masih mempunyai kerentanan untuk melakukan kesalahan, bahasa kerennya human error. Dan seharusnya masalah human error harus juga diselidiki jangan membuat pernyataan sepihak tanpa pembuktian-pembuktian terlebih dahulu dan aku pikir orang ini sangat sombong mungkin karena jabatannya itu atau mungkin karena orang yang dihadapinya ini bodoh.

Orang itu masih tetap melanjutkan ocehannya, “SEPERTI YANG SUDAH SAYA BILANG SEBELUMNYA IJAZAH ADIK KAMU ITU SUDAH TIGA TAHUN SAYA JUGA TIDAK YAKIN IJAZAHNYA MASIH DISINI…”

“Tapi pak tadi sebelum kesini saya bicara dengan kepala sekolah dan dia bilang nanti dipersiapkan berkas-berkasnya.” Aku memotong ucapannya.

“KALAU SUDAH LEBIH DARI TIGA BULAN IJAZAH ITU SUDAH TIDAK ADA DISINI, SUDAH DISERAHKAN KE YAYASAN. JADI WALAU PUN HARI INI KAMU MEMBAWA SATU JUTA SEKALI PUN SAYA TIDAK BISA LANGSUNG MEMBERIKANNYA SETIDAKNYA BUTUH WAKTU SATU MINGGU.” Orang itu berkelit.

Hey pak saya ini memang bodoh tapi saya bukan pengingat yang buruk, sebelumnya bapak bilang ada di dinas kenapa kok sekarang ada di yayasan, apakah sampai harus berbohong hanya untuk memperkuat sebuah argumen?

Sedikit menjelaskan yang dimaksud orang itu dengan yayasan adalah kantor utama tempat penyandang dana dari sekolah ini dan saya memang tempatnya cukup jauh, di Marijoa*** tepatnya.

“Tapi pak tadi kepala sekolah kok yang bilang kalau berkas-berkasnya ada…” aku mulai menegaskan tapi langsung di potong.


“Y-ya sudah kalau ada di kepala sekolah kenapa kamu harus datang ke saya?” nah loh, orang itu mulai panik.

“Nah itu masalahnya pak, kan dari awal sudah saya jelaskan kalau saya tidak membawa uang yang cukup dan setelah bertanya ke petugas TU saya disarankan untuk bertanya ke bapak untuk mencari solusinya karena…” aku kembali menjelaskan duduk perkara, tapi orang itu kembali memotong ucapan ku.

 “Kan…” orang itu mencoba memotong.

Aku tidak mau penjelasan ku premature lagi dan langsung memotong ucapannya, “Sebentar pak! Ya saya tau di sistem masih kurang satu juta dan sekarang saya Cuma membawa lima ratus ribu. Begini saja saya berjanji akan membayar lima ratus ribunya sekarang dan sisanya saya minta waktu satu atau dua hari lagi. Sekarang saya minta fotokopinya dulu karena memang saya sangat membutuhkannya sekarang.”

“MEMANG KAMU INI SIAPA, KAMU MAU MEMBODOHI SAYA?” Sepertinya orang itu mulai naik pitam.

“SEKARANG SAYA MAU TANYA KAMU TAHU APA PERBEDAAN RUH DENGAN JASAD?” orang itu meneruskan perkataannya dengan mata melotot.

Aku sempat terdiam. Aku mengerti apa yang ingin dia katakan, menganalogikan ijazah dan fotokopinya dengan jasad dan ruh memang terdengar relevan. Jika saja tidak dalam keadaan mendesak aku pasti akan dengan sangat senang hati meladeni perdebatan mengenai jasad dan ruh, bahkan aku akan menjelaskan dengan terperinci bahwa perbandingan jasad dan ruh sangat tidak relevan dengan konteks ini.

“KAMU TAHU, SAMA SAJA BOHONG KALAU SAYA KASIH FOTOKOPINYA KE KAMU. KAMU PASTI TIDAK AKAN DATANG KESINI LAGI UNTUK MENGAMBIL IJAZAHNYA.  TOH DENGAN MENDAPATKAN LEGALISIR ITU SUDAH CUKUP UNTUK KAMU BAWA KEMANA-MANA JADI IJAZAH SUDAH TIDAK DIPERLUKAN LAGI. ITULAH YANG SAYA MAKSUD DENGAN JASAD DAN RUH.” Orang itu menjelaskan panjang lebar.

Hey pak apakah anda TUHAN yang bisa menentukan seseorang berbohong atau tidak dan apa alasan anda memvonis saya seperti itu?  Dan sepertinya anda keliru pada poin ini. Jasad dan ruh adalah dua hal saling bersinergi sehingga mampu menunjukkan eksistensinya sebagai manusia. Jasad tanpa ruh hanyalah seonggok mayat, dan ruh tanpa jasad sudah terputus hubungannya dengan dunia ini. Sedangkan Ijazah dan fotokopinya adalah dua hal yang berbeda, ijazah akan tetap menjadi ijazah walau tanpa ada fotokopinya. Sedangkan fotokopi memiliki keterbatasan fungsi dan tidak akan mungkin bisa menjadikan dirinya sendiri sebagai ijazah. Secara esensi mereka berbeda, dan secara fungsi fotokopi tidak bisa mewakili fungsi ijazah secara keseluruhan sedangkan ijazah mampu melakukan fungsinya secara utuh tanpa perlu bantuan fotokopi dirinya. Sebenarnya ini yang ingin aku sampaikan tapi cukuplah hal ini cuma ada di kepala ku, toh pasti dia akan merasa digurui dan itu sangat tidak sopan mengingat saya ini hanyalah muridnya dia seorang guru yang saya hormati.

Hanya saja jika masih diberi kesempatan untuk kedua kalinya, saya akan berkata seperti ini ke orang itu, Pak saya hanya meminta selembar fotokopi ijazah, walaupun nantinya akan bisa saya gandakan tapi ijazah mutlak diperlukan. Bapak pasti mengetahui hal itu dan tidak ada alasan bagi saya untuk mengingkari perkataan saya.

Kembali ke realita, orang itu melanjutkan kembali ke celotehannya, “KAMU SUDAH MENGERTI KAN, JADI SANA SETORKAN DULU UANG YANG ADA BARU KITA BICARA LAGI.”

Terdengar suara telepon dan orang ini mulai meninggalkan ku untuk mengangkat telepon itu.

Aku menunggu beberapa saat dan mulai berbicara kembali ketika orang itu kembali duduk menghampiriku, “Tapi pak, apakah kalau saya bayar dengan uang yang ada terlebih dahulu bapak bisa memberikan saya fotokopinya?”

“KAMU INI…” Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Saya yakin dia ingin bilang saya ini dungu atau tuli dalam lanjutan kalimatnya.

“SUDAH KAMU BAYAR DULU SANA!” orang itu menyelesaikan bicaranya.

Saya ingin memastikan dan bertanya sekali lagi, “Tapi bisa ga pak fotokopinya keluar?”

“KAMU INI TIDAK DENGAR YA, SAYA TIDAK BISA MENGELUARKAN IJAZAH ATAU LEGALISIRNYA KALAU BELUM LUNAS. LAGIAN KAN SUDAH SAYA BILANG WALAUPUN KAMU KASIH LUNASI HARI INI SAYA TETAP TIDAK BISA KASIH IJAZAHNYA SEKARANG LAGIAN NGAPAIN SAYA REPOT-REPOT DATANG KE YAYASAN HANYA UNTUK MASALAH SEPELE SEPERTI INI. MENYITA WAKTU SAYA SAJA.”

Saya hanya melongo dan menelan begitu saja semua hujatannya. Dan sampai titik ini saya sudah kehilangan semua respek terhadap orang ini.

“Hari Kamis (pada saat itu hari kamis adalah dua hari dari hari ini) saya akan pergi ke yayasan dan jika saja sampai hari itu kamu melewati jam sepuluh pagi saya tidak bisa memastikan masih bisa mengurusnya lagi pula saya tidak tahu apakah ijazahnya masih ada atau tidak.” Orang itu melanjutkan bicaranya tapi kali ini dengan nada biasa.

I got the point, ya kali ini sudah jelas kalah dia berbohong dan hanya ingin menakut-nakuti ku agar segera melunasinya, karena aku yakin ijazahnya masih ada di sekolah bukan di yayasan seperti yang orang itu katakan (Hal itu akan terbukti kemudian). Satu hal yang jadi pertanyaan dalam hati ku, orang ini setahu ku pemahaman agamanya sangat luas, seharusnya dia tau apa konsekuensi berbohong dalam kaidah agama. Memang katanya berbohong ini diperbolehkan jika menyangkut kebaikan, dalam hal ini kebaikan yang orang itu maksud mungkin untuk kebaikan sekolah atau malah untuk kebaikannya sendiri.

Aku berasumsi dia hanya ingin mengamankan posisinya sebagai pengurus yayasan, dia mungkin hanya ingin terlihat tegas dengan membuang semua sisi kemanusiaannya. Dan sekali lagi aku berasumsi dia hanya ingin dilihat bahwa selama dalam kepengurusannya yayasan dalam keadaan baik-baik saja tanpa mau repot-repot mengurusi berbagai masalah, PENJILAT*. Sekali lagi aku mau menegaskan bahwa ini hanyalah asumsi pribadi yang bisa benar atau salah, orang-orang biasanya menyebut dengan su’udzon.

Terakhir Berbohong memang mungkin di perbolehkan demi kebaikan, tapi kebaikan itu harus melibatkan semua pihak, baik itu orang yang berbohong, objek yang dijadikan untuk berbohong dan orang yang dibohongi. Tapi kali ini hal itu sama sekali tidak membawa kebaikan pada ku, aku sakit hati dengan kebohongan dan logat kasarnya. Aku tidak akan mungkin sakit hati jika saja orang ini berbicara dengan jujur dan itu lebih baik menurut ku.

Setelahnya percakapan kembali berlanjut. Intinya dia tetap tidak mau mengeluarkan ijazah mau pun fotokopinya sebelum semuanya lunas. Pada percakapan terakhir dia sama sekali sudah berubah dari orang yang sudah aku kenal selama ini, wajah yang memerah tidak bisa disembunyikan dibalik kulit hitamnya itu dan seringainya membuat seolah-olah dia bukan lagi manusia.

Satu kata terakhir darinya, “Kamu membuang-buang waktu saya saja.”

Demi menjaga adat kesopanan saya pamit sambil mencium tangannya, walau pun nyatanya hati saya dipenuhi rasa dongkol.

Aku bergegas men-starter motorku, “Dik, ayo kita pulang. Lagian kamu kenapa baru bilang sekarang pas waktunya mepet. Kalau dari kemarin-kemarin mungkin bisa diusahakan uangnya dulu.”

Di perjalanan pikiran ku mengawang kemana-mana, mencari cara bagaimana mencari sisa kekurangan uang. Pada saat itu memang kondisinya sedang tidak bagus, aku sedang tidak ada uang. Dan uang lima ratus ribu ini juga menggunakan modal usaha warung nasi ibuku. Dan aku sama sekali tidak membahas dari mana uang ini didapat ke orang itu, karena dari awal dengan nada bicaranya yang seperti itu dia tidak akan mau tahu, baginya saya hanya harus melunasi bagaimana pun caranya.

Setelah beberapa lama aku sampai ke warung ibuku, “Ma, uangnya kurang. Katanya masih ada tunggakan SPP satu juta lagi.”

Ibu ku kaget mendengar hal itu, “Lah, bagaimana sih terakhir kan tinggal lima ratus ribu lagi itu juga cuma biaya untuk ujiannya. Waktu itu mama mengurusnya ke pak Mawar**. Kalau tidak salah tinggal uang untuk ujian saja. Lagian pak Mawar** bilang si adik tidak bisa ikut ujian kalau SPPnya belum dilunasi.”

“Ya mau gimana lagi ma, katanya masih kurang satu juta lagi. Lagian aku tidak mau lagi berurusan dengan orang itu ma, seumur hidup saya tidak mau lagi melihat mukanya.” Kataku sambil meluapkan emosiku ke ibu ku.

“Emang ga bisa diomongin lagi apa?” kata ibu ku sambil mengernyitkan dahinya.

Aku sangat mengetahui kegelisahan ibu ku, jika saja aku punya uang waktu itu pasti akan aku gunakan biar masalahnya cepat selesai.

Terlihat ibuku tidak konsen dalam memasak, “Ya sudah kamu tunggu di sini dulu.” Kata ibu ku sambil bergegas pergi entah kemana.

Aku mencoba menelpon beberapa temanku bermaksud untuk meminjam uang. Tetapi hasilnya nihil, mungkin karena akhir bulan jadi teman-temanku juga tidak bisa meminjamkan uangnya.

“Nih kekurangannya.” Tiba-tiba ibuku menyodorkan uang lima ratus ribu lagi.

“Dari mana ma uangnya?” tanyaku.

“Udah buruan sana ambil ijazahnya. Biarin makan tuh uang biar buncit.” Kata ibu ku.

Entah siapa yang salah di sini yang jelas ibu ku merasa kekurangannya memang tinggal lima ratus ribu lagi, dan ekspersi kesal sama sekali tidak bisa disembunyikan ketika menyerahkan uang kepada ku. Terakhir baru aku tahu jika ibu ku menggadaikan gelangnya untuk mendapatkan uang itu katanya itulah cara tercepat yang bisa dia pikirkan dan aku merasa sangat bersalah sekali karena tidak bisa membantu.

Aku bergesas kembali ke sekolah, kali ini tidak bersama dengan adik ku. Sesampainya di sekolah aku langsung menuju ke Loket TU, dan menyerahkan uang satu juta.

“Ijazahnya memang sekarang ada dimana di sekolah atau di yayasan?” kata petugas loket.

“Kalau kata kepala sekolah sih ada di sekolah bu tapi kata orang itu ada di yayasan. Saya juga tidak tahu sebenarnya ada dimana.” Jawab ku.

“Ya sudah kamu coba tanya ke bapak yang disitu.” Kata petugas sambil menunjuk seserang yang memakai baju biru.

Aku pun menghampiri bapak berbaju biru dan bertanya, “Maaf pak, saya mau tanya mengenai ijazah adik saya.”

“Oh, ayo kita keruangan saya.” Kata bapak berbaju biru.

Kemudian saya pun sampai di ruangan bapak berbaju biru, setelah menandatangi berkas-berkas yang diperlukan kemudian bapak itu pun menyerahkan map yang berisi ijazah beserta legalisir fotokopinya.

Dalam hati aku berkata, Oh ternyata ini yang orang-orang katakan tentang orang itu, acuh, sombong dan arogan. Sebelumnya aku tidak percaya sampai merasakannya sendiri. TAMAT.

Catatan :
* gaya bahasa sarkasme, biasanya menggunakan bahasa ibu si Aku dan hanya terlintas dalam pikirian si Aku.
** Nama kepala sekolah sebelum kepala sekolah yang sekarang sebut saja Mawar, karena dalam penulisan kali ini sebenarnya saya tidak ingin menggunakan sebuah nama. Untuk pengenalan tokoh saya menggunakan : Aku, Orang itu, Adik, Mama, Kepala Sekolah, Petugas Loket, Bapak berbaju biru.
*** menunjukkan suatu tempat, seperti halnya nama tokoh saya juga tidak ingin menggunakan nama tempat. Tapi karena didalam alur cerita mengharuskan saya untuk menuliskan nama sebuah tempat maka saya menggunakan nama imajinasi. Namex sendiri adalah nama sebuah planet yang berada di dalah kisah Dragon Ball sedangkan Marijoa adalah sebuah tempat dalam kisah One Piece yang bersebelahan dengan marine HQ dimana World Government berada.

Cerita ini hanyalah sebuah kisah fiktif yang penulis buat untuk mengisi waktu luangnya yang sangat banyak. Hampir semua cerita menggunakan gaya bahasa hiperbola terlebih ketika menceritakan tokoh orang itu.

ConversionConversion EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng