“… KAMU TAHU TIDAK PERBEDAAN ANTARA RUH DENGAN JASAD …” Kata orang yang sedang berhadapan denganku. Arogan, setidaknya itulah pandanganku terhadap orang itu.
Sebelum jauh bercerita ada
baiknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Aku hanyalah orang biasa,
bodoh, dan udik, tapi setidaknya masih punya hal yang dibanggakan yaitu
tatakrama dan sopan santun. Sedangkan orang yang ada di hadapan ku (orang itu)
adalah seorang Sarjana Teologi, berwarasan luas dalam ilmu agama, ahli filsafat
(katanya), seorang yang sedang berada di pucuk pimpinan dan tulisannya sering
muncul di tajuk opini sebuah koran daerah. Seorang yang harusnya memiliki
wibawa dan kebijaksanaan yang tinggi.
Secara garis
besar cerita ini ingin menampilkan sebuah gagasan mengenai bijaksana/kebijaksanaan dari dua sudut pandang yang berbeda antara Si Aku dan Orang itu.
Dalam sudut
pandang Orang itu, Bijaksana mengerucut ke sebuah pemahaman yang berarti sebuah
ketegasan mutlak dalam memutuskan sebuah masalah, dengan keputusan yang
bersifat hitam putih, benar atau salah,
tanpa terlebih dahulu memikirkan hukum sebab akibat dan sama sekali tidak
memikirkan faktor-faktor lain yang akan dan atau mungkin berhubungunan dalam
sebuah permasalahan, dimana hasil keputusan harus ditelan bulat-bulat tanpa
harus dipertanyakan.
Sedangkan dalah
sudut pandang Aku, Bijaksana/Kebijaksaan adalah hasil keputusan yang berupa
solusi terbaik dari sebuah permasalahan dengan terlebih dahulu mencari dan
memecahkan akar dari permasalahan, tanpa harus menghilangkan sisi kemanusiaan, agar
dapat diterima dengan dengan baik oleh semua pihak tanpa menimbulkan konflik
baru yang diakibatkan kebijakan yang telah diambil.
Kembali ke cerita …
Dengan membawa sedikit asa aku
berjalan menuju kantor yayasan sebuah sekolah, berharap seseorang yang ku temui
ini dapat memberikan solusi dari masalah yang akan aku ajukan.
“Tok, tok, tok,
Assalamu’alaikum.” Ucap ku di depan sebuah ruangan.
“Wa’alaikum salam. Oh kamu ayo
silahkan masuk.” Jawab orang yang baru saja keluar dari dalam ruangan, lalu
mempersilahkan saya duduk. Tidak lupa saya mencium tangan orang itu sebelum
duduk sebagai tanda hormat atas orang yang sebelumnya ku kagumi ini.
Mata ku menerawang ke segala arah
ketika memasuki ruangan, ternyata tempat ini sudah banyak berubah sejak
terakhir kali saya melihatnya.
Dengan sedikit basa basi aku
berkata, “Wah tempat ini sudah banyak berubah ya pak.”
Tanpa menjawab pertanyaan ku
orang itu langsung bertanya, “Ada perlu apa?”
Sebelum menjawab aku sempat
memperhatikan mimik wajah orang itu, ada perasaan acuh dan tidak senang
terpancar dari mukanya.
“Begini pak, sebelum kesini saya
bertemu dengan kepala sekolah. Saya berniat untuk mengambil ijazah adik saya
yang belum sempat di ambil sekaligus ingin melunasi tunggakan yang belum
dibayarkan.” Perkataan ku langsung ke pokok permasalahan.
“Oh bagus, ya sudah tinggal di
lunasi saja terus ambil ke kepala sekolah. Lalu kenapa kamu kesini?” Ucap orang
itu dengan nada sedikit sinis.
Orang itu kemudian mulai menusuk
air mineral dengan sedotan dan mulai menyeruputnya. Satu hal yang menjadi
pertanyaan dalam hati ku, seharusnya sebagai tuan rumah orang ini menawarkan
terlebih dahulu minuman kepada tamunya sebelum dia meminum minumannya sendiri.
Mungkin dia sangat haus sampai lupa menawarkan minuman atau memang itu
kebisaannya dalam menerima tamu. Ah aku tidak ambil pusing, lagi pula saat itu aku
tidak sedang merasa haus.
Aku yakin orang ini sudah tahu
maksud kedatangan saya, sehingga dari awal dia sudah memasang wajah agak sinis.
Dan aku juga tahu kalau sudah banyak orang yang berhadapan kepadanya dengan
masalah yang kurang lebih sama dengan masalah ku ini. Aku pun maklum dengan
sikapnya itu, mungkin dia lelah menghadapi orang-orang seperti ku.
Aku lanjut bicara, “Tapi ada
sedikit masalah pak…”
“Masalah apa?” dengan tiba-tiba
orang itu memotong pembicaraan ku.
“Tapi uang yang saya bawa kurang
pak, saya minta kebi…” jawab saya tapi orang itu lagi-lagi langsung memotong
pembicaraanku.
“JUSTRU SAYA YANG TIDAK BIJAKSANA
KALAU KASIH KAMU IJAZAHNYA…”
Blarrr, seakan kuping ku
tersambar petir mendengar jawabannya itu. Dalam hati Aku berkata, ANJING banget
nih orang, emangnya dia siapa berani bentak-bentak gua*. Tapi aku meredam amarahku.
“Tapi pak sekali lagi saya mohon
kebijaksanaannya”. Tanpa sadar saya mengucapkan lagi kata bijaksana, dan saya
yakin dia akan mulai menegaskan lagi kata bijaksana dengan nada yang lebih tinggi.
“KAN SUDAH SAYA BILAAANG… (sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya). SAYA ITU TIDAK BIJAKSANA KALAU SAYA KASIH KAMU
IJAZAHNYAAAA.”
Aku sudah hapal betul dengan nada
bicaranya yang seperti ini. Waktu dulu ketika dia masih mengajar nada ini
sering kali aku dengar ketika sedang marah. Satu hal yang belum aku beri tahu
dia adalah guru ku ketika sekolah dahulu. Tapi kenapa dengan nada bicaranya
itu? Apa dia sedang bernostalgia waktu mengajar dulu, atau memang saya ini
orang bodoh yang pantas untuk di bentak-bentak?
“Memang sudah berapa lama
ijazahnya belum di ambil?” Orang itu mulai menurunkan nada bicaranya.
Aku pun langsung bertanya ke adik
saya yang ketika itu duduk disamping ku, “Dik, kamu ini sudah berapa lama Lulus
sekolah?”
“Sekarang saya sudah kelas tiga
SMP Kak?” jawab adik ku.
“NAH ITU DIA, SEKOLAH ITU PUNYA
KEBIJAKAN KALAU TIGA BULAN IJAZAH TIDAK DIAMBIL MAKA IJAZAHNYA SUDAH BUKAN
DISINI LAGI TAPI DI DINAS. SEDANGKAN KAMU SUDAH TIGA TAHUN MASIH BELUM
DIAMBIL.” Lagi-lagi orang itu nyerocos dengan nada tinggi.
“Tapi pak, sebelumnya saya mau
bicara dulu. Tadi saya ke TU trus bertanya tentang tunggakan…”
“NAH ITU DIA, YA SUDAH SANA
TINGGAL DILUNASI TERUS BARU BICARA LAGI DENGAN SAYA.” Nada bicaranya tidak
menurun sama sekali.
“Sebentar pak saya jelaskan
dulu….”
“APA LAGIIIIIII….” Sampai sini
saya hampir tidak bisa menahan emosi.
Aku sadar saat ini sedang
melakukan negosiasi, dan dalam kasus ini saya berada dalam posisi yang lemah
untuk melakukan negosiasi, sedang orang yang dihadapan saya ini merasa
mempunyai posisi yang kuat dalam negosiasi.
Seakan mengetahui pikiran ku
orang itu lanjut bicara, “Begini, dalam negosiasi kali ini saya seperti membeli
kucing dalam karung saja, tidak jelas! Sudah kamu bayar dulu ke TU baru bicara
lagi.” Sambil mengibaskan tangannya bermaksud mengusir sedangkan senyum culas
tersungging dalam bibirnya seakan sudah memenangkan negosiasi ini.
Aku tidak mau percakapan ini
berakhir begitu saja dan jujur sampai saat ini masih belum mendapatkan apa yang
saya harapkan. Aku pun mulai berbicara lagi dengan orang itu, tapi kali ini
saya tidak menghiraukan perakataannya yang bermaksud memotong pembicaraan ku.
“Begini pak, maksud saya datang
kesini memang meminta kebijaksanaan bapak, tapi sebelumnya saya mau
memberitahukan bahwa saya sekarang membawa uang lima ratus ribu, dan memang
kata ibu saya kekurangannya itu tinggal lima ratus ribu, makanya saya membawa
uang pas. Tetapi waktu saya tanya ke TU ternyata masih ada tunggakan satu juta
untuk SPPnya pak.”
“Ya itukan yang sudah tertera di
sistem, sistem itukan….” Orang itu mulai berkilah.
Dalam hati Aku tahu apa yang
ingin dia jelaskan, dan sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia sistem
komputerisasi Aku lebih tahu bagaimana cara sistem komputerisasi itu bekerja
dan bisa dibilang mustahil untuk mengubah data di sistem karena hal itu pasti
akan mempengaruhi keseluruhan sistem. Apalagi jika berurusan dengan uang pasti akan
menjadi hal yang sangat sensitif.
Tanpa maksud menggurui aku
mengesampingkan masalah sistem dan sekali lagi mencoba menjelaskan duduk
perkaranya.
“Waktu itu ibu saya mengurus
masalah ini dengan Pak Mawar** (Kepala sekolah yang sebelumnya) dan seingat ibu
saya memang kekurangannya tinggal lima ratus ribu lagi, saya tidak tahu menahu secara
persis urusan itu karena memang bukan saya yang mengurusnya waktu itu.”
“Ya sudah sekarang kamu datang ke
pak Mawar** saja, selesain sama dia. Saya tidak mau tahu.” Wajah orang itu
terlihat sangat tidak senang. Entah apa yang terjadi diantara orang itu dengan
pak mawar**.
Saya tahu kalau pak Mawar** sudah
tidak ada lagi di sekolah itu, dan berpolemik dengan membawa pak Mawar** tidak
akan membawa hasil. Tapi seharusnya orang yang sedang berhadapan dengan saya
ini tidak lepas tanggung jawab begitu saja apalagi masalah ini memang masih
dalam wilayah yuridisnya.
“Apakah memang tidak ada
solusinya pak?” tanyaku sambil menahan geram.
“Solusi bagaimana, sudah jelas
solusinya kamu tinggal bayar terus datang lagi kesini.” Kali ini nadanya lebih
rendah tapi kesan meremehkan tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.
“Tapi…”.
“TAPI APAAA…?” belum selesai aku
berbicara tapi langsung di potong.
“DARI AWAL KAMU INI SALAH, KENAPA
TIDAK DARI AWAL DIAMBIL IJAZAHNYA. KENAPA BARU SEKARANG?” orang itu meneruskan
bicaranya.
BANGSAT, NI ORANG EMANG UDAH GA
BISA DIAJAK NGOMONG*, batinku.
Pada titik ini saya sudah tidak
bisa lagi menahan amarah, kalau saja ada pisau pasti sudah saya tikam orang
itu, bahkan jika ada garpu didekatku sudah saya tusukkan kematanya.
Orang itu terus mengoceh panjang
lebar, tapi tidak ada satu pun omongannya yang ku dengar. Satu hal yang aku
pikirkan bagaimana caranya untuk membungkam si sombong ini? Apakah dengan
berdiri dari kursi yang kududuki ini, berjalan ke arahnya, menarik kerah
bajunya kemudian melepaskan tinju yang bertubi-tubi kewajahnya. Atau Memakinya
dengan luapan kata-kata kasar sambil meluapkan keudikan ku.
Astagfirullah, hampir saja aku melakukan
sesuatu yang nekat hanya karena uang lima ratus ribu rupiah. Ku tekan kembali
amarah ku sekuat mungkin, aku sadar meluapkan amarah tidak akan membuat
semuanya menjadi lebih baik dan malah akan memperunyam keadaan.
Sudah menjadi kebiasaan entah sadar
atau tidak ketika aku menahan emosi yang sedang meluap-luap ada suatu perasaan
yang mendesir dari ulu hati yang naik ke dada, perasaan yang membuat aku ektase
seketika, sebuah ekspektasi yang lebih hebat daripada sebatang mariyuana,
mungkin. Hanya saja hal ini mempunyai efek samping, dalam keadaan seperti ini
biasanya mata ku mulai berkaca-kaca dan bicara ku mulai terbata-bata.
Sedikit demi sedikit aku mulai
tersadar dari lamunan ku, dan sayup-sayup suara orang itu mulai terdengar
kembali di telingaku.
“… INTINYA DARI AWAL KAMU SUDAH
SALAH! TIGA TAHUN…? KEMANA SAJA KAMU…? GILIRAN BUTUH BARU DATANG, MEMANGNYA
KAMU TIDAK TAHU KALAU SAYA SUDAH SANGAT SABAR MENUNGGU ORANG-ORANG SEPERTI
KAMU?”
Ya memang selama ini saya yang
salah, kenapa baru kali ini saya baru saya mengurus pengambilan ijazah adik ku.
Sebagai kakak seharusnya saya harus lebih peka dalam memperhatikan adiknya,
batin ku.
Aku sangat setuju dengan argumen
orang itu, tapi ini bukan saatnya berbicara benar dan salah. Ijazah, ya itulah
yang saya butuhkan dan kedatangan saya pun dengan niat baik untuk melunasi
semua tunggakan yang masih ada.
“Tapi pak, sudah saya bilang saya
cuma bawa uang lima ratus ribu, dan kata ibu saya memang tinggal segitu
kekurangannya.”
“LAH ITUKAN KATA IBU KAMU, SIAPA
TAHU IBU KAMU BERBOHONG.” Celetuk orang itu.
Satu hal pak, anda sudah membuat
saya terhina tapi jangan bawa-bawa ibu saya, anda sudah sangat berlebihan kali
ini. Aku lagi-lagi membatin.
Aku merasa berdebat panjang lebar
mengenai lima ratus ribu atau satu juta tidak akan membawa hasil. Sebenarnya
aku sudah muak berhadapan dengan orang ini. Tapi sudah kepalang tanggung dan
juga harus ada hasil karena memang keperluan ini sudah sangat mendesak.
“Oke pak, saya tidak akan
mempersalahkan satu juta atau lima ratus ribunya. Hanya saja minimal saya minta
legalisir fotokopi dan saya akan membayar lima ratus ribu dulu dan saya minta
waktu satu atau dua hari untuk melunasi sisanya.” Ucapku diplomatis.
Senyum sumringah terlihat dari
orang itu, aku yakin dia merasa menang kali ini. “CK CK CK (suara mulut
berdecak), SEBELUMNYA ADA ORANG DARI NAMEX*** DIA JUGA MINTA HAL YANG SAMA.
SAYA WAKTU ITU SUDAH MEMBERI KEBIJAKAN AKAN MEMBERIKAN IJAZAHNYA TERLEBIH
DAHULU, DAN MEMBUAT PERJANJIAN AGAR ORANG ITU HARUS SEGERA MELUNASI DALAM WAKTU
SATU MINGGU BAHKAN PERJANJIAN ITU SAMPAI DITULIS DI ATAS MATERAI. TAPI
NYATANYA… SAMPAI SEKARANG DIA BELUM BAYAR SAMA SEKALI. SUDAH DI TELEPON BERKALI-KALI DIA SELALU
BERKELIT, TERAKHIR TELEPONNYA MALAH TIDAK BISA DIHUBUNGI.”
Aku mengerti dan memaklumi orang
ini, mungkin dia tidak mau kejadian sebelumnya terulang kembali. Tapi jika tidak
menghormati orang yang ada di depan ku, pasti aku sudah mengeluarkan kata-kata
ini, BAPAK JANGAN MENGGENERALISIR SEMUA ORANG BEGITU SAJA, ORANG ITU MUNGKIN
SUDAH BERBUAT SALAH, TAPI JUJUR SAJA KALAU MENYANGKUT HUTANG SAYA PASTI AKAN
MELUNASINYA. BUKANNYA BAPAK DULU PERNAH MENGAJARI KEPADA SAYA HUTANG ITU AKAN
DI TAGIH PERTANGGUNG JAWABANNYA DI AKHIRAT KELAK. JANGANKAN SATU JUTA BERAPA
PUN PASTI AKAN SAYA LUNASI.
Ya jika saja saya tidak
menghormati orang ini pasti saya akan mengeluarkan kata-kata tersebut dengan
nada yang keras untuk menandingi kearoganannya itu, tapi sekali lagi saya masih
menghormati orang itu, setidaknya waktu itu.
Jika orang itu punya sedikit hati
nurani dan kebijaksanaan seperti yang di sebutkannya pasti orang itu bisa
berpikir sejernih apa yang saya pikirkan. Dalam kasus ini uang satu juta rupiah
yang tertera di sistem memang sebuah fakta yang tidak bisa dibantah. Tapi
masalah lima ratus ribu yang disebutkan oleh ibu ku bisa menjadi hal yang patut
dipertimbangkan, perkataan tersebut memang belum bisa di validasi karena aku
tidak membawa kwitansi-kwitansi yang bisa memperkuat perkataan ibu ku
(berhubung aku terburu-buru datang ke sekolah) dan seharusnya orang itu
menyuruh saya untuk mempersiapkan bukti-bukti untuk memperkuat pernyataan ibu
ku jangan seenaknya langsung memvonis begitu saja. Satu lagi Sebuah sistem
komputerisasi memang hampir mustahil untuk salah, tapi faktor SDM yang
mengelola sistem itu tetap masih mempunyai kerentanan untuk melakukan
kesalahan, bahasa kerennya human error. Dan seharusnya masalah human
error harus juga diselidiki jangan membuat pernyataan sepihak tanpa
pembuktian-pembuktian terlebih dahulu dan aku pikir orang ini sangat sombong mungkin
karena jabatannya itu atau mungkin karena orang yang dihadapinya ini bodoh.
Orang itu masih tetap melanjutkan
ocehannya, “SEPERTI YANG SUDAH SAYA BILANG SEBELUMNYA IJAZAH ADIK KAMU ITU
SUDAH TIGA TAHUN SAYA JUGA TIDAK YAKIN IJAZAHNYA MASIH DISINI…”
“Tapi pak tadi sebelum kesini
saya bicara dengan kepala sekolah dan dia bilang nanti dipersiapkan
berkas-berkasnya.” Aku memotong ucapannya.
“KALAU SUDAH LEBIH DARI TIGA
BULAN IJAZAH ITU SUDAH TIDAK ADA DISINI, SUDAH DISERAHKAN KE YAYASAN. JADI WALAU
PUN HARI INI KAMU MEMBAWA SATU JUTA SEKALI PUN SAYA TIDAK BISA LANGSUNG
MEMBERIKANNYA SETIDAKNYA BUTUH WAKTU SATU MINGGU.” Orang itu berkelit.
Hey pak saya ini memang bodoh
tapi saya bukan pengingat yang buruk, sebelumnya bapak bilang ada di dinas
kenapa kok sekarang ada di yayasan, apakah sampai harus berbohong hanya untuk
memperkuat sebuah argumen?
Sedikit menjelaskan yang dimaksud
orang itu dengan yayasan adalah kantor utama tempat penyandang dana dari
sekolah ini dan saya memang tempatnya cukup jauh, di Marijoa*** tepatnya.
“Tapi pak tadi kepala sekolah kok
yang bilang kalau berkas-berkasnya ada…” aku mulai menegaskan tapi langsung di
potong.
“Y-ya sudah kalau ada di kepala sekolah kenapa kamu harus datang ke saya?” nah loh, orang itu mulai panik.
“Nah itu masalahnya pak, kan dari
awal sudah saya jelaskan kalau saya tidak membawa uang yang cukup dan setelah
bertanya ke petugas TU saya disarankan untuk bertanya ke bapak untuk mencari
solusinya karena…” aku kembali menjelaskan duduk perkara, tapi orang itu
kembali memotong ucapan ku.
“Kan…” orang itu mencoba memotong.
Aku tidak mau penjelasan ku premature
lagi dan langsung memotong ucapannya, “Sebentar pak! Ya saya tau di sistem
masih kurang satu juta dan sekarang saya Cuma membawa lima ratus ribu. Begini
saja saya berjanji akan membayar lima ratus ribunya sekarang dan sisanya saya
minta waktu satu atau dua hari lagi. Sekarang saya minta fotokopinya dulu
karena memang saya sangat membutuhkannya sekarang.”
“MEMANG KAMU INI SIAPA, KAMU MAU
MEMBODOHI SAYA?” Sepertinya orang itu mulai naik pitam.
“SEKARANG SAYA MAU TANYA KAMU
TAHU APA PERBEDAAN RUH DENGAN JASAD?” orang itu meneruskan perkataannya dengan
mata melotot.
Aku sempat terdiam. Aku mengerti
apa yang ingin dia katakan, menganalogikan ijazah dan fotokopinya dengan jasad
dan ruh memang terdengar relevan. Jika saja tidak dalam keadaan mendesak aku
pasti akan dengan sangat senang hati meladeni perdebatan mengenai jasad dan
ruh, bahkan aku akan menjelaskan dengan terperinci bahwa perbandingan jasad dan
ruh sangat tidak relevan dengan konteks ini.
“KAMU TAHU, SAMA SAJA BOHONG
KALAU SAYA KASIH FOTOKOPINYA KE KAMU. KAMU PASTI TIDAK AKAN DATANG KESINI LAGI
UNTUK MENGAMBIL IJAZAHNYA. TOH DENGAN
MENDAPATKAN LEGALISIR ITU SUDAH CUKUP UNTUK KAMU BAWA KEMANA-MANA JADI IJAZAH
SUDAH TIDAK DIPERLUKAN LAGI. ITULAH YANG SAYA MAKSUD DENGAN JASAD DAN RUH.”
Orang itu menjelaskan panjang lebar.
Hey pak apakah anda TUHAN yang
bisa menentukan seseorang berbohong atau tidak dan apa alasan anda memvonis
saya seperti itu? Dan sepertinya anda
keliru pada poin ini. Jasad dan ruh adalah dua hal saling bersinergi sehingga
mampu menunjukkan eksistensinya sebagai manusia. Jasad tanpa ruh hanyalah
seonggok mayat, dan ruh tanpa jasad sudah terputus hubungannya dengan dunia
ini. Sedangkan Ijazah dan fotokopinya adalah dua hal yang berbeda, ijazah akan
tetap menjadi ijazah walau tanpa ada fotokopinya. Sedangkan fotokopi memiliki
keterbatasan fungsi dan tidak akan mungkin bisa menjadikan dirinya sendiri
sebagai ijazah. Secara esensi mereka berbeda, dan secara fungsi fotokopi tidak
bisa mewakili fungsi ijazah secara keseluruhan sedangkan ijazah mampu melakukan
fungsinya secara utuh tanpa perlu bantuan fotokopi dirinya. Sebenarnya ini yang
ingin aku sampaikan tapi cukuplah hal ini cuma ada di kepala ku, toh pasti dia
akan merasa digurui dan itu sangat tidak sopan mengingat saya ini hanyalah
muridnya dia seorang guru yang saya hormati.
Hanya saja jika masih diberi
kesempatan untuk kedua kalinya, saya akan berkata seperti ini ke orang itu, Pak
saya hanya meminta selembar fotokopi ijazah, walaupun nantinya akan bisa saya
gandakan tapi ijazah mutlak diperlukan. Bapak pasti mengetahui hal itu dan
tidak ada alasan bagi saya untuk mengingkari perkataan saya.
Kembali ke realita, orang itu
melanjutkan kembali ke celotehannya, “KAMU SUDAH MENGERTI KAN, JADI SANA
SETORKAN DULU UANG YANG ADA BARU KITA BICARA LAGI.”
Terdengar suara telepon dan orang
ini mulai meninggalkan ku untuk mengangkat telepon itu.
Aku menunggu beberapa saat dan
mulai berbicara kembali ketika orang itu kembali duduk menghampiriku, “Tapi
pak, apakah kalau saya bayar dengan uang yang ada terlebih dahulu bapak bisa
memberikan saya fotokopinya?”
“KAMU INI…” Orang itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Saya yakin dia ingin bilang saya ini dungu atau
tuli dalam lanjutan kalimatnya.
“SUDAH KAMU BAYAR DULU SANA!”
orang itu menyelesaikan bicaranya.
Saya ingin memastikan dan
bertanya sekali lagi, “Tapi bisa ga pak fotokopinya keluar?”
“KAMU INI TIDAK DENGAR YA, SAYA
TIDAK BISA MENGELUARKAN IJAZAH ATAU LEGALISIRNYA KALAU BELUM LUNAS. LAGIAN KAN
SUDAH SAYA BILANG WALAUPUN KAMU KASIH LUNASI HARI INI SAYA TETAP TIDAK BISA
KASIH IJAZAHNYA SEKARANG LAGIAN NGAPAIN SAYA REPOT-REPOT DATANG KE YAYASAN
HANYA UNTUK MASALAH SEPELE SEPERTI INI. MENYITA WAKTU SAYA SAJA.”
Saya hanya melongo dan menelan
begitu saja semua hujatannya. Dan sampai titik ini saya sudah kehilangan semua
respek terhadap orang ini.
“Hari Kamis (pada saat itu hari
kamis adalah dua hari dari hari ini) saya akan pergi ke yayasan dan jika saja
sampai hari itu kamu melewati jam sepuluh pagi saya tidak bisa memastikan masih
bisa mengurusnya lagi pula saya tidak tahu apakah ijazahnya masih ada atau
tidak.” Orang itu melanjutkan bicaranya tapi kali ini dengan nada biasa.
I got the point, ya kali
ini sudah jelas kalah dia berbohong dan hanya ingin menakut-nakuti ku agar
segera melunasinya, karena aku yakin ijazahnya masih ada di sekolah bukan di
yayasan seperti yang orang itu katakan (Hal itu akan terbukti kemudian). Satu
hal yang jadi pertanyaan dalam hati ku, orang ini setahu ku pemahaman agamanya
sangat luas, seharusnya dia tau apa konsekuensi berbohong dalam kaidah agama.
Memang katanya berbohong ini diperbolehkan jika menyangkut kebaikan, dalam hal
ini kebaikan yang orang itu maksud mungkin untuk kebaikan sekolah atau malah
untuk kebaikannya sendiri.
Aku berasumsi dia hanya ingin
mengamankan posisinya sebagai pengurus yayasan, dia mungkin hanya ingin
terlihat tegas dengan membuang semua sisi kemanusiaannya. Dan sekali lagi aku berasumsi
dia hanya ingin dilihat bahwa selama dalam kepengurusannya yayasan dalam
keadaan baik-baik saja tanpa mau repot-repot mengurusi berbagai masalah,
PENJILAT*. Sekali lagi aku mau menegaskan bahwa ini hanyalah asumsi pribadi
yang bisa benar atau salah, orang-orang biasanya menyebut dengan su’udzon.
Terakhir Berbohong memang mungkin
di perbolehkan demi kebaikan, tapi kebaikan itu harus melibatkan semua pihak,
baik itu orang yang berbohong, objek yang dijadikan untuk berbohong dan orang
yang dibohongi. Tapi kali ini hal itu sama sekali tidak membawa kebaikan pada ku,
aku sakit hati dengan kebohongan dan logat kasarnya. Aku tidak akan mungkin
sakit hati jika saja orang ini berbicara dengan jujur dan itu lebih baik
menurut ku.
Setelahnya percakapan kembali
berlanjut. Intinya dia tetap tidak mau mengeluarkan ijazah mau pun fotokopinya
sebelum semuanya lunas. Pada percakapan terakhir dia sama sekali sudah berubah
dari orang yang sudah aku kenal selama ini, wajah yang memerah tidak bisa
disembunyikan dibalik kulit hitamnya itu dan seringainya membuat seolah-olah
dia bukan lagi manusia.
Satu kata terakhir darinya, “Kamu
membuang-buang waktu saya saja.”
Demi menjaga adat kesopanan saya
pamit sambil mencium tangannya, walau pun nyatanya hati saya dipenuhi rasa
dongkol.
Aku bergegas men-starter motorku,
“Dik, ayo kita pulang. Lagian kamu kenapa baru bilang sekarang pas waktunya
mepet. Kalau dari kemarin-kemarin mungkin bisa diusahakan uangnya dulu.”
Di perjalanan pikiran ku
mengawang kemana-mana, mencari cara bagaimana mencari sisa kekurangan uang.
Pada saat itu memang kondisinya sedang tidak bagus, aku sedang tidak ada uang.
Dan uang lima ratus ribu ini juga menggunakan modal usaha warung nasi ibuku.
Dan aku sama sekali tidak membahas dari mana uang ini didapat ke orang itu,
karena dari awal dengan nada bicaranya yang seperti itu dia tidak akan mau
tahu, baginya saya hanya harus melunasi bagaimana pun caranya.
Setelah beberapa lama aku sampai
ke warung ibuku, “Ma, uangnya kurang. Katanya masih ada tunggakan SPP satu juta
lagi.”
Ibu ku kaget mendengar hal itu,
“Lah, bagaimana sih terakhir kan tinggal lima ratus ribu lagi itu juga cuma biaya
untuk ujiannya. Waktu itu mama mengurusnya ke pak Mawar**. Kalau tidak salah
tinggal uang untuk ujian saja. Lagian pak Mawar** bilang si adik tidak bisa
ikut ujian kalau SPPnya belum dilunasi.”
“Ya mau gimana lagi ma, katanya
masih kurang satu juta lagi. Lagian aku tidak mau lagi berurusan dengan orang
itu ma, seumur hidup saya tidak mau lagi melihat mukanya.” Kataku sambil
meluapkan emosiku ke ibu ku.
“Emang ga bisa diomongin lagi
apa?” kata ibu ku sambil mengernyitkan dahinya.
Aku sangat mengetahui kegelisahan
ibu ku, jika saja aku punya uang waktu itu pasti akan aku gunakan biar
masalahnya cepat selesai.
Terlihat ibuku tidak konsen dalam
memasak, “Ya sudah kamu tunggu di sini dulu.” Kata ibu ku sambil bergegas pergi
entah kemana.
Aku mencoba menelpon beberapa
temanku bermaksud untuk meminjam uang. Tetapi hasilnya nihil, mungkin karena
akhir bulan jadi teman-temanku juga tidak bisa meminjamkan uangnya.
“Nih kekurangannya.” Tiba-tiba
ibuku menyodorkan uang lima ratus ribu lagi.
“Dari mana ma uangnya?” tanyaku.
“Udah buruan sana ambil
ijazahnya. Biarin makan tuh uang biar buncit.” Kata ibu ku.
Entah siapa yang salah di sini
yang jelas ibu ku merasa kekurangannya memang tinggal lima ratus ribu lagi, dan
ekspersi kesal sama sekali tidak bisa disembunyikan ketika menyerahkan uang
kepada ku. Terakhir baru aku tahu jika ibu ku menggadaikan gelangnya untuk
mendapatkan uang itu katanya itulah cara tercepat yang bisa dia pikirkan dan
aku merasa sangat bersalah sekali karena tidak bisa membantu.
Aku bergesas kembali ke sekolah,
kali ini tidak bersama dengan adik ku. Sesampainya di sekolah aku langsung
menuju ke Loket TU, dan menyerahkan uang satu juta.
“Ijazahnya memang sekarang ada
dimana di sekolah atau di yayasan?” kata petugas loket.
“Kalau kata kepala sekolah sih
ada di sekolah bu tapi kata orang itu ada di yayasan. Saya juga tidak tahu
sebenarnya ada dimana.” Jawab ku.
“Ya sudah kamu coba tanya ke
bapak yang disitu.” Kata petugas sambil menunjuk seserang yang memakai baju biru.
Aku pun menghampiri
bapak berbaju biru dan bertanya, “Maaf pak, saya mau tanya mengenai ijazah adik
saya.”
“Oh, ayo kita
keruangan saya.” Kata bapak berbaju biru.
Kemudian saya
pun sampai di ruangan bapak berbaju biru, setelah menandatangi berkas-berkas
yang diperlukan kemudian bapak itu pun menyerahkan map yang berisi ijazah
beserta legalisir fotokopinya.
Dalam hati aku
berkata, Oh ternyata ini yang orang-orang katakan tentang orang itu, acuh, sombong
dan arogan. Sebelumnya aku tidak percaya sampai merasakannya sendiri. TAMAT.
Catatan :
* gaya bahasa
sarkasme, biasanya menggunakan bahasa ibu si Aku dan hanya terlintas dalam
pikirian si Aku.
** Nama kepala
sekolah sebelum kepala sekolah yang sekarang sebut saja Mawar, karena dalam
penulisan kali ini sebenarnya saya tidak ingin menggunakan sebuah nama. Untuk pengenalan
tokoh saya menggunakan : Aku, Orang itu, Adik, Mama, Kepala Sekolah, Petugas
Loket, Bapak berbaju biru.
*** menunjukkan
suatu tempat, seperti halnya nama tokoh saya juga tidak ingin menggunakan nama
tempat. Tapi karena didalam alur cerita mengharuskan saya untuk menuliskan nama
sebuah tempat maka saya menggunakan nama imajinasi. Namex sendiri adalah nama sebuah
planet yang berada di dalah kisah Dragon Ball sedangkan Marijoa adalah sebuah
tempat dalam kisah One Piece yang bersebelahan dengan marine HQ dimana World
Government berada.
Cerita ini
hanyalah sebuah kisah fiktif yang penulis buat untuk mengisi waktu luangnya
yang sangat banyak. Hampir semua cerita menggunakan gaya bahasa hiperbola
terlebih ketika menceritakan tokoh orang itu.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon